"Kembar!" Dasha dan Nanda sontak beradu tatap selagi kata itu keluar bersamaan dari bibir mereka. Usaha Dasha tak sia-sia. Beribu alasan akhirnya berhasil meyakinkan pihak kesiswaan agar mau memberikan data dua lelaki yang sangat menyita perhatiannya.
"Tapi menurut lo, kenapa hubungan mereka kayak gitu?" Dasha menautkan alisnya.
Nanda mengangkat bahunya. "Pasti ada alasan kuat sampai Arlan bisa sedingin itu ke Vean."
Dasha tak menanggapi argumen sahabatnya itu. Yang diketahuinya, Vean mempunyai keluarga lengkap. Seorang ayah, ibu dan adik lelaki yang terpaut sepuluh tahun. Sedangkan Arlan hanya mempunyai Hanum. Orang tua tunggal tanpa ia ketahui siapa ayah lelaki itu.
Adinata. Dasha kira, nama belakang mereka tak sengaja sama. Lagipula, pasti masih banyak Adinata lain di luar sana. Tak hanya Vedian Adinata dan Arsalan Adinata.
Nanda menghela napas sebelum kembali bersuara. "Apa orang tua mereka cerai? Tante Hanum sama Om ... siapa nama ayah Vean? Om Ardian?"
Dasha mengangguk.
"Arlan ikut ibunya terus Vean ikut ayahnya. Jadi, Tante Laras ibu tirinya Vean. Kalau ini wajar kenapa Vean dingin sama ibunya Eshan," lanjut Nanda.
Dasha juga dapat mengira jika hanya masalah itu. Namun, yang mengganjal di sini, mengapa keduanya begitu jauh? Keira dan Mila nyatanya tak membantu. Dasha tahu jika kedua gadis itu sahabat kecil mereka. Berarti, memang ada yang disembunyikan di sini.
"Vean mana?" Kalimat tanya itu lepas, usai Dasha puas bergelut dengan pemikirannya sendiri.
"Di lapangan basket."
Gadis mungil itu beranjak. Bergegas cepat menuju tempat yang dimaksud. Netranya meliar saat sampai di lapangan basket indoor sekolah. Belum cukup ramai. Mengingat kelas mereka menyudahi pembelajaran lebih awal dan para anggota ekstrakikuler basket belum tiba. Kedua sudut bibir gadis itu tertarik ke atas kala mendapati Vean tengah duduk di salah satu bangku penonton terdepan, di dekat garis luar lapangan.
"Ve."
Kening Vean berkerut saat mendapati Dasha yang tiba-tiba berada di depannya. Sedikit menundukkan kepalanya. Mencondongkan badan padanya guna menatap sepasang manik cokelat miliknya. Vean masih biarkan bibirnya terkatup rapat. Selagi air muka Dasha berubah aneh. Sulit dideskripsikan olehnya.
"Nggak mirip."
Kedua kata itu justru membuat Vean semakin bingung. Datang tanpa aba-aba. Menatapnya cukup lama. Dan kini tiba-tiba menarik kesimpulan aneh.
"Cuma bentuk hidung kalian yang mirip," komentar Dasha, "tetap gantengan Arlan. Tapi ...."
Vean mengalihkan wajah. Tak suka Dasha mengunci pandangnya seperti itu.
"Lihat gue!" Dasha meraih wajah Vean. Menghadapkan wajah tampan itu kepadanya. Menuntun agar netra mereka kembali bersitemu.
Vean mendengkus. Tak tahan, lelaki itu bangkit berdiri. Memegang kedua bahu Dasha, memutar tubuh mereka, lantas mendudukkan paksa gadis itu di tempat duduknya semula. Mencondongkan badannya pada Dasha, lantas mengamati setiap inci paras cantik di depannya.
Dasha membeku. Entah ke mana enyahnya semua pertanyaan yang akan diajukannya tadi. Sepasang netra beriris cokelat itu benar-benar menenggelamkan sadarnya. Dan tanpa mereka sadari, sepasang mata dari kejauhan menatap mereka dengan terluka.
."A-yam ja-go. Ayam jago!"
Kedua pasang telapak tangan bertepukan saat frasa yang dieja berhasil dibaca. Eshan tersenyum ceria. Lantas memandang sang ayah selagi dirinya masih ada di pangkuan pria paruh baya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...