"Eshan makan dulu, ya?" Dasha berjongkok di depan bocah itu. Sepulang dari pemakaman tadi, Eshan langsung masuk ke kamar sang kakak. Mengurung diri di sana tanpa mau berbuat apapun. "Udah sore, loh. Kalau Eshan sakit, Kak Vean pasti sedih di sana," bujuknya lagi.
"Kak Vean pembohong! Katanya Kak Vean mau nonton sama Eshan! Katanya Kak Vean mau ngajarin Eshan basket! Tapi Kak Vean malah ninggalin Eshan!" Eshan memberengut. Masih bertahan duduk di tepi ranjang dengan melipat kedua lengannya.
"Hm ... nonton, ya? Kalau nontonnya sama Kak Dasha gimana? Kita nonton sama-sama, yuk!"
Eshan menggeleng. "Enggak! Enggak mau!"
"Beneran nggak mau? Padahal Kak Vean udah bilang ke Kak Dasha buat gantiin nemenin Eshan nonton. Eshan mau ngecewain Kak Vean?" Tak apalah ia sedikit berbohong agar bocah berumur enam tahun itu berhasil dirayunya.
"Beneran?"
Dasha mengangguk.
"Kak Dasha bisa basket juga?" tanya Eshan.
Dasha sedikit bingung menjawab. Sebelum sebuah ide melintas di pikirannya. "Kak Mila jago basket. Kebetulan belum pulang. Turun yuk! Ayo sama-sama belajar basket dari Kak Mila. Gimana?"
Eshan terdiam cukup lama, tapi pada akhirnya mengangguk juga. Bocah itu mengambil bola basket di sudut kamar. Memeluknya, membawanya keluar bersama Dasha.
Dasha sedikit terkejut saat melihat Hanum berdiri di depan pintu. Hanya dapat melempar senyum sebelum mengikuti langkah Eshan.
.Aroma menenangkan langsung menyeruak saat Hanum menginjakkan kaki di ruang itu. Jadi, seperti ini aroma tubuh putranya? Ia menyelisik setiap sisi kamar ini. Meski dulu ia pernah tinggal di rumah Adinata, tapi ini kali pertama dirinya masuk ke kamar putra sulungnya.
Hanum berjalan menuju jendela kaca besar. Menyibak gorden hingga cahaya senja dari luar dapat menerangi tempatnya berada. Netranya menangkap pemandangan di bawah sana. Sebuah halaman tempat Vean dan Arlan bermain dulu. Lantas kenangan-kenangan itu kembali terputar ulang. Saat-saat kebersamaan mereka, tapi sesalnya, Hanum tak pernah sedikit pun memperhatikan putra sulungnya.
Wanita itu menghela napas panjang. Kemudian diembuskannya perlahan. Fokusnya kini beralih pada laptop di atas meja belajar. Ia ingat betul benda elektronik itu. Benda miliknya yang ternyata Vean jaga dengan baik.
Hanum mengeluarkan flashdisk dari sakunya. Menghidupkan laptop, lantas membuka file di dalam benda kecil yang Laras titipkan padanya. Netranya menyelisik deretan aksara yang tampak, usai file itu dibukanya. Kalimat-kalimat dengan banyak kesalahan penulisan di sana, tapi ia masih dapat mengerti isi di dalamnya. Air mata Hanum meleleh, usai membacanya. Pundak wanita itu terguncang hebat. Untuk kesekian kalinya, ia kembali terisak.
.
Dari terakhir yang kulihat, Bunda jauh beda. Keriput di mukanya semakin jelas saja. Padahal umurnya lima tahun di bawah Ayah. Belum berkepala empat.
Bunda nggak pernah nanya, "Kamu apa kabar? Tidurnya nyenyak? Makannya enak?" Padahal itu kalimat yang pengen aku dengar kalau ketemu sama Bunda.
Bunda masih hangat, di matanya. Tapi mataku masih menyelisik dalam garis Bunda. Mencari dalam pandang tegas itu sedikit keteduhan yang disisakan untukku. Namun, tak kuperoleh.
Sentuhan itu terlalu 'lembut' untuk dijadikan sapaan. Jikalau Bunda ingat, itu kali pertama setelah enam tahun lalu. Saat aku hanya mampu mematung di depan pintu, melihat Bunda menata baju. Selagi aku membawa satu es krim di tangan kanan dan sebuah kaset di tangan kiri untuk aku dan Arlan tonton bersama.
Aku terlalu awam saat itu. Tapi Bunda bahkan tak meninggalkan pesan saat menyeret koper besar itu dan menggendong Arlan. Terlibat perdebatan lagi dengan Ayah sebelum Bunda menghilang di balik pintu utama rumah kami.
Aku berlari mengejar Bunda. Tapi tak kutahu mengapa jangkah kaki Bunda juga jadi selebar itu. Kuserukan namanya, tapi Bunda malah memilih lenyap ditelan badan taksi.
Sejak itu, aku tak dapat melihat Bunda. Hingga suatu saat kutemu namanya dalam lembar buku. Kulihat wajahnya berhias senyum di halaman belakang buku. Tertulis di sana deskripsinya yang kembali menguak rinduku. Kucari Bunda hingga akhirnya kutemu semua hal baru tentangnya. Namun bagaimanapun, aku tak seberani itu untuk meminta temu. Tak seberani itu untuk berujar rindu. Hanya mampu kupandang paras cantik itu dari kejauhan. Dalam desak-desak punggung orang yang mendengar seminarnya.
Aku tak pernah menyesal pada Bunda. Sedikit pun tak pernah. Kendati pertemuan kami di ruang rawat Arlan sedikit membuatku kecewa. Maka kupilih tempat lain untuk bertemu. Menguntitnya ke toko buku untuk menandatangani buku yang kubeli. Aku tak pernah menyesal kendati kita dipertemukan sebagai orang asing. Sebagai idola dan penggemarnya, aku sangat bersyukur Bunda sudi menorehkan tinta pulpen di buku-buku itu.
Tania Chan cantik, akuku. Aku diam-diam masih mengawasi kala Bunda terlibat percakapan di waktu itu. Namun, jika kuperkenalkan Adasha Mecca padanya, mungkin Bunda 'kan bilang dia lebih cantik.
Kepada Bunda, aku tak meminta apapun. Hanya kupanjatkan doa agar bisa memandangnya lebih lama. Tapi tampaknya semua itu 'kan sia-sia.
Bunda bilang, waktunya bisa berhenti kapan saja. Alasan yang cukup kuat mengapa usapan lembut Bunda selalu tertuju padanya. Tapi, bukan berarti aku akan hidup seribu tahun lagi, 'kan?
Hanum tersenyum getir, usai mengedit salinan dari tulisan putranya. Sudah sebulan berlalu. Namun luka itu, penyesalan itu, belum juga dapat luput darinya. Pandangannya beralih dari layar laptop ke sebuah punggung tegap yang tak jauh darinya. Wanita itu bangkit berdiri. Memangkas jaraknya dengan sesosok lelaki yang tengah mengenakan kemeja putih di depan cermin.
Hanum berhenti tepat di belakang tubuh lelaki itu. Meraih pundak yang lebih tinggi darinya, lantas memutar tubuh di depannya. "Anak Bunda udah ganteng. Kalau siap-siap nggak usah lama-lama banget. Nanti sarapannya dingin." Hanum bertutur demikian selagi merapikan kemeja sekolah putranya.
Arlan tersenyum sendu. Wajah bundanya tampak semakin kurus sejak kepergian kakaknya. Dibiarkannya sang ibu membenahi kerah seragam sekolahnya. Selagi dirinya menikmati paras cantik di depannya. "Bun ...," panggilnya.
Hanum tak menjawab. Niatan mengancingkan kemeja Arlan terhenti saat melihat bekas operasi di dada lelaki itu. Pelan, tangan Hanum bergerak menyentuhnya. Dan pandangannya berubah layu.
Arlan kembali tersenyum sendu. Memeluk tubuh sang bunda. Membiarkan wanita yang melahirkannya itu bersandar pada dadanya. Mendengarkan detak jantung di dalam sana.
.... Selesai ....
Oke, silakan curhat di About It's You, ya.Love,
LyndiasariJumo, 01.12.20

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...