12

1.6K 184 121
                                    

Gadis itu mengamati wajahnya lewat spion. Mendengkus kala didapatnya luka kemerahan cukup panjang di pipi. Sekitar lima senti. Pasti ini bekas saat ia ikut saling cakar tadi. Pertandingan terpaksa dibuburkan karena kericuhan yang terjadi. Bisa dibilang, usaha tim basket mereka sia-sia. Sia-sia lagi dirinya yang turut turun ke lapangan. Bukannya keadilan yang didapat, tapi malah bekas luka itu.

"Masker lo, Sha." Nanda menyodorkan masker sekali pakai yang baru saja dibelinya.

"Apes banget deh gue." Dasha lagi-lagi mendengkus. Kemarin, ia sudah dimarahi habis-habisan karena aksi membolosnya. Sekarang apa kabar jika sang ayah melihat bekas cakaran di wajahnya?

"Salah lo sendiri ikut-ikutan gelut!" Nanda mengambil kunci motor dari tasnya. "Mundur dikit, Sha." Lantas menuntun motornya, mengeluarkan kendaraan beroda dua itu dari baris parkir.

Dasha mencebik. Memasang maskernya untuk menutupi bekas luka di pipinya. "Masih keliatan?" Gadis itu memastikan.

"Paling di rumah, bokap lo juga bakalan lihat," cibir lawan bicaranya selagi menaiki motornya.

Dasha memandang datar sahabatnya itu sebelum mengisi jok belakang motor setelah Nanda menghidupkan mesin. "Eh bentar, Na. Kayaknya ada yang ketinggalan."

"Apa lagi?"

"Keira sama Mila mana?"

Nanda mengernyit. Termenung cukup lama sebelum mengangkat kedua bahunya. "Tinggal ajalah nggak papa. Mereka bawa motor sendiri-sendiri juga."

Dasha sebenarnya sedikit ragu. Pasalnya, setelah kericuhan itu, ia tak melihat kedua sahabatnya. "Kalau diculik, dibuat sandra gimana?"

"Sha, berkhayallah di tempatnya." Nanda menjalankan motor matic-nya.

Dasha menjitak kepala gadis itu dari belakang. Sebelum mengambil ponsel dari saku rok abu-abunya, lantas menghubingi Keira.

.

Gadis itu berlari sepanjang koridor rumah sakit selagi ponselnya masih bertempel pada daun telinga. Beberapa kali Mila menghubungi Vean, tapi tak juga ada jawaban. "Lo di mana sih, Ve?" Langkah gadis itu berhenti di depan IGD. Netranya mengedar. Mencari sesosok lelaki itu di antara keramaian.

Vean menghilang. Mila sempat takut jika lelaki itu menaruh dendam dan melanjutkan perkelahian di tempat lain. Namun, saat mendengar kabar Arlan ditemukan tak sadarkan diri, ia berpikir bahwa mungkin Vean mengantar lelaki itu ke rumah sakit.

Gadis itu mengembuskan napas lelah. Bergerak menyibak keramaian dan baru dapat membuang napas lega saat menemukan sosok yang dicarinya tengah duduk di sebuah bangku. Masih dengan seragam basketnya. "Ve, lo nggak papa?" Entah mengapa kalimat itu yang sontak lepas dari bibirnya. Bahkan, sebelum jarak mereka benar-benar dekat. Jelas, Arlan yang tumbang, tapi tetap saja Vean yang menjadi pusat perhatiannya.

Vean bergeming. Sorot redup kembali didapatnya dalam netra beriris cokelat itu. "Ve." Mila menyentuh bahunya. Lantas mengambil tempat duduk di samping kiri.

"Lo tadi ke mana aja? Kok bisa nemuin Arlan?"

Vean menoleh. Seolah baru tersadar akan keberadaan gadis itu.

.

Masih terbayang bagaimana sakit itu sempat menguasai dirinya. Sempat mengenyahkan tenaganya, sebelum memudar perlahan. Saat itu Vean tutup kedua kelopak matanya. Menikmati deru napasnya, lantas terlelap sesaat. Dan entah seberapa lama ia tertidur hingga keramaian di lapangan tak lagi terdengar. Ia bangkit. Berdiri dengan berpegang pada pintu. Keluar dari bilik toilet berniat membasuh wajah. Namun, ada satu hal yang dirasanya ganjil saat melihat sebuah pintu tak tertutup sempurna. Vean mendekat. Jantungnya berdetak lebih cepat kala mendapati Arlan di dalam sana.

"Lan." Bergetar, Vean menepuk pipi lelaki itu. Namun, tak ada perubahan. Arlan masih bergeming dengan dada naik turun tak teratur. Keringat dingin kembali keluar dari pori-pori kulit lelaki jangkung itu. Tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Arlan. Menempatkannya pada punggung, lantas digendongnya keluar. Pandangannya mengedar. Hendak meminta bantuan, tapi tempat itu sudah kosong.

"Arlan!" pekikan Keira mengalihkan fokus Vean. Entah dari mana gadis itu muncul, ia tak menyadarinya.

"Lo bawa mobil?" tanya Vean cepat.

"Gue panggil ambulans," respons gadis itu selagi mengimbangi langkah lebar Vean.

Terlalu lama, pikirnya. Vean mengambil langkah semakin cepat. Memberhentikan sebuah taksi saat sampai di sisi jalan. "Masuk!" titahnya pada Keira.

Keira menuruti perintah itu. Mengambil jok belakang taksi, lantas membiarkan Vean membaringkan Arlan di pangkuannya. Menutup pintu, lalu melangkah ke jok depan. "Minggir," ucapnya pada supir taksi di depan kemudi. Namun, pria berumur empat puluhan itu masih tak juga bergerak dari tempatnya.

"Biar saya yang menyupir," tolaknya.

"Minggir atau keluar?" sentak Vean.

Pria itu terkejut mendengar remaja SMA yang menyentaknya. Bahkan, hingga urat leher di lelaki itu timbul jelas. Namun, tak ayal ia menggeser tubuhnya ke kursi penumbang. Membiarkan Vean membelah keramaian jalan dengan kecepatan jauh di atas rata-rata.
.

"Ve."

Vean tersentak. Netranya memang terarah pada Mila. Namun, gadis itu tahu jika pikiran Vean tak turut berada di sana.

"Kita pulang." Lelaki itu bangkit. Sedikit terhuyung saat sepasang kakinya digunakan sebagai tumpuan tubuh.

"Lo nggak papa?" Mila amati lelaki itu dengan jeli sedari tadi. Ia tahu jika sosok di depannya tak baik-baik saja. Jelas tertangkap oleh netranya wajah pucat Vean. Rambut kecokelatannya yang basah menampakkan sisa keringat yang membanjir.

Vean tak menjawab. Lelaki itu mengambil langkah mendahului Mila. Menyusuri koridor rumah sakit tanpa menghiraukan tatapan aneh yang dilayangkan padanya. Wajah kusat dengan seragam basket di tempat umum seperti ini tentu menyita perhatian.

"Ganti baju dulu nggak? Gue bawain tas lo." Mila berlari mengejar.

Langkah Vean berhenti. Bukan karena suara dari belakang tubuhnya, melainkan karena sosok pria yang mengambil arah berlawanan dengannya. Langkahnya cepat, tapi tak sedikit pun sempat menatapnya.

"Om Ardian," gumam Mila.

Tepat. Semua masih sama. Memang sedari dulu tak pernah sedikit pun sorot mereka terarah padanya. Vean masih mematung. Bahkan, sosok yang sangat disayanginya, yang telah lama dirindukannya, yang ia sebut saat tak lagi dapat berbuat apa-apa, tak menyadari keberadaannya tadi. Dan harusnya, sedari dulu Vean sadar. Bahwa ia semu. Bahwa ia sekadar bayangan yang hilang ditelan gelap.

.

Hanum kembali merasa tertikam. Ada yang mengorek hatinya dalam-dalam. Pedih itu terasa nyata saat melihat putranya terbaring di dalam sana. Ini bukan kali pertama, tapi sebanyak apapun, ia tak akan pernah terbiasa. Tak akan pernah tak apa kala melihat malaikatnya itu kembali jatuh tak sadarkan diri.

Perasaannya memang sudah terasa tak nyaman saat Arlan hendak berangkat sekolah pagi tadi. Saat lelaki itu memamerkan deret gigi putihnya dan menyalaminya, berlanjut mencium pipinya.

"Tante Hanum ... Arlan pinsan."  Kalimat Keira beberapa jam yang lalu itu berhasil memukul telak dirinya. Benar. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah.

Hanum langsung berlari keluar rumah saat itu. Meninggalkan pekerjaannya sebagai editor lepas, lantas sebisa mungkin berusaha sampai dengan cepat ke rumah sakit. Tubuhnya bergetar hebat saat melihat Keira terduduk di depan IGD. Dengan wajah kusat yang disembunyikannya di balik telapak tangan. Barulah saat kalimat Fariz--dokter yang telah lama merawat putranya-- terdengar, ia tak lagi tahu ke mana perginya semua daya tubuhnya.

"Arlan kritis."
.
.
.

Bersambung ....

Entah apa yang merasukiku, hinggaku tak tahu apa yang kutulis.

Love,
Lyndiasari

Jumo, 10.02.19

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang