Arlan menghela napas lelah. Hanum tak main marahnya menemukan dirinya collapse kemarin petang. Memang, sosok itu yang mengantarkannya kemari, yang menungguinya semalaman. Namun, dari pengakuan seorang perawat yang biasa merawatnya, Hanum keluar rumah sakit subuh tadi. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja.
Lelaki itu melempar pandangan ke luar kaca jendela ruang rawatnya. Bosan setelah hampir sehari duduk anteng di atas bed. Cukup lama mengunci fokus pada luar ruangan, akhirnya Arlan berputus mengambil laptop di atas nakas. Bundanya tak setega itu ternyata. Kendati dibiarkan sendiri, saat bangun tadi baterai ponselnya sudah diisi penuh dan juga benda elektronik yang biasa digunakannya untuk menuangkan pikiran turut disediakan.
Arlan menghidupkan laptopnya. Sepasang netranya terpusat pada layar yang baru menyala. Tak lama, jemari lelaki itu bermain di atas keyboard. Mengisi blognya yang sudah lama tak ia perbarui isinya.
Ceklek!
"Lan!"
Arlan menoleh. Dan kepala seorang gadis ditemuinya menyembul dari balik pintu. "Dasha?" gumamnya setengah terkejut. Lelaki itu mengernyit heran. Ia tak sempat mengirim kabar ke teman sekolahnya, tapi mengapa sosok gadis itu dapat muncul tiba-tiba di sini?
"Lo nggak papa?" Dasha memangkas jarak di antara mereka.
Keira yang datang bersama gadis itu terlebih dahulu menutup pintu sebelum melakukan hal yang sama.
"Buat saat ini, iya. Tapi lain kali, kalau lo masuk tanpa permisi dan tiba-tiba nongol kaya gitu, gue bisa collapse lagi."
Dasha menyengir. "Sorry. Gue terlalu khawatir."
"Santai aja. Untung juga gue nggak ngira lo bagian dari penunggu sini."
"Ya elo, kan penunggu sini? Di rumah sakit kok betah amat," cibir Keira.
Bibir kering Arlan mencetak senyum. Lelaki itu menutup laptop yang masih ada di pangkuannya.
"Bunda lo ke mana, btw?" Dasha menarik kursi di dekat bed. Menangkap sepi yang mendominasi tempatnya berada kini.
Arlan mengangkat kedua bahunya.
"Tanda-tanda marah lagi, nih," Keira melempar praduga, disambut cengiran khas satu-satunya lelaki di antara mereka bertiga, "Lagian lo juga, sih. Maksa banget pulang telat. Kalau udah gini, kan baru tahu rasa."
"Nggak kapok masa," sahut Arlan.
"Oke, nanti gue aduin ke Tante Hanum." Keira menantang.
"Jangan nyokap deh, Kei."
"Bodo."
"Kei! Elah jahat lo." Lelaki itu mendengkus.
Dasha mengernyit. Mematung di tempatnya. Bukannya saat hendak kemari dirinya yang semangat berapi-api dan Keira yang punya beribu alasan untuk menolak. Tapi, setalah ia berhasil membujuk, saat mereka sampai, mengapa jadi terbalik?
"Ekhem!" Dasha berdeham. Jujur, dadanya mulai tersulut cemburu.
Arlan menoleh ke arahnya. Terkekeh. "Lo punya teman cerewet banget sih, Sha? Kaya emak-emak."
"What? Padahal yang banyak omong gue!" batinnya. Dasha melempar pandang ke arah Keira. Didapatnya gadis itu tengah mencebik mendengar tutur Arlan.
."Papa kemarin malam lihat kamu di rumah sakit."
Niatan Vean meraih dauh pintu terhenti. Lelaki itu masih berdiri membelakangi Ardian, ayahnya. "Niat lihat apa nggak sengaja lihat?"
"Vean! Lihat wajah orang yang berbicara denganmu!"
Vean mendengkus sebelum berbalik.
"Mama tadi ke sekolah memenuhi panggilan. Kamu bolos lagi? Cuma buat dapat itu?" Ardhan menatap dingin putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...