Masih teringat jelas olehnya. Bagaimana senja itu merampas semua kebahagiaannya. Merampas semua kepercayaannya. Menandaskan rumah tangganya yang sudah berjalan sepuluh tahun.
"Hanum, aku bisa jelasin semuanya." Ardian berusaha meraih jemari istrinya, tapi wanita itu menepisnya kasar. Tak mengindahkan keberadaan suaminya, justru sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper.
Harusnya sedari awal ia tak mudah menaruh kepercayaan. Harusnya sedari awal, ia sadar jika ada kalanya pria itu lelah. Lantas mencari pelarian darinya. Ada luka yang dibuka lebar detik itu. Tanpa aba-aba, tanpa ada prasangka, datang tiba-tiba. Ia cukup kecewa saat mendapati seorang wanita berdiri di depannya, kala ia hendak membuka pintu. Wanita yang sangat dikenalnya, dengan perut buncit yang diusapnya.
"Semua murni kecelakaan, Han. Tolong beri aku kesempatan." Pada akhirnya, jemari itu berhasil Ardian raih. Digenggamnya telapak tangan yang dingin oleh keringat itu erat-erat, lantas diciumnya beberapa kali.
Hanum mengeraskan rahangnya. Netra merahnya menatap jijik suaminya, sebelum ia lepaskan tangan yang digenggam erat oleh Ardian. "Lalu, mau kamu apakan anak itu?"
Ardian bungkam. Ia hanya dapat menyesali perbuatannya, tanpa tahu bagaimana mencari solusi.
"Kamu nggak bisa jawab, kan? Aku nyerah Mas! Kalau kamu emang udah nggak bisa nerima aku dan Arlan, dengan senang hati aku akan pergi!" Hanum menutup kopernya. Berniat melangkah meninggalkan kamar tempat mereka berada.
"Bukan seperti itu. Waktu itu aku mabuk, Han. Aku nggak tahu apa yang aku bicarakan waktu itu." Ardian meraih lengan istrinya.
"Bukannya orang mabuk selalu berkata yang sebenarnya?" Hanum menatap tajam pria yang telah lama dikenalnya itu.
"Han--"
"Cukup!" potongnya, "aku nggak mau dengar apapun! Jangan buat aku semakin muak dengan kelakuanmu!" Hanum menepis kasar tangan yang mencekal lengannya. Berjalan cepat keluar dari kamarnya. Berlanjut menuruni tangga. Dan di anak tangga terbawah sana, masih dapat ditangkap oleh netranya senyum puas terpatri di rupa wanita itu.
Hanum menghempas napasnya kasar, usai kenangan tujuh tahun lalu kembali berputar ulang. Sisa luka itu masih jelas terasa, kendati ia berusaha menutupnya, tapi tetap saja tak dapat sembuh begitu saja.
"Saya antar ke mana ini Bu?" Supir taksi bertanya sopan.
"Ke ...," Hanum menggantung kalimatnya saat nada dering ponselnya terdengar. Raut wanita itu berubah serius. Sebelum sesaat kemudian, senyuman terbit di wajah lelahnya, "ke rumah sakit," jawabnya.
.
"Btw, gue belum lihat Vean seharian." Kaki mungil itu dituntunnya menyusuri setiap lorong, selagi mata bulatnya menyelisik sekitar. Mencari sosok Arlan di lingkungan sekolah.
"Dia nggak masuk dari pagi, kan?" Nanda menjawab.
Dasha menghentikan langkahnya dengan kerutan halus di kening. "Masa ...."
"Iya. Lo ngapain aja sih di kelas, sampai nggak nyadar kalau Vean nggak masuk?"
"Masa Arlan udah pulang." Nada suara Dasha menurun.
Nanda menepuk jidatnya. Dasha benar-benar membuatnya bingung. Tiba-tiba menyusulnya saat ia tengah mengikuti ekstrakurikuler musik dan mengajaknya kelur dengan ihwal sangat penting. Namun ternyata, ia hanya diminta untuk membantu gadis itu mencari Arlan. Belum lagi topik pembicaraan yang terlalu ke sana kemari. Membahas dua lelaki, Arlan dan Vean bersamaan.
"Coba ke RKS jurnalis lagi." Dasha memutar arah. Kembali menyusuri koridor kelas yang telah beberapa kali mereka lewati. Sedangkan Nanda, dengan menghela napas lelah, hanya dapat mengikuti.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Dla nastolatkówDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...