Prolog

434 73 53
                                    

Happy reading:)

*****

Menjadi gadis tak berperasaan dalam kamusku adalah menjadi gadis yang tak bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan atau pun perasaan lainnya. 

Itulah aku, Grisella Sheba Agustine. 

Entah kenapa aku tidak bisa merasakan yang namanya 'perasaan', aku bahkan tak tau apa itu 'perasaan', mimik wajahku juga selalu sama setiap waktu. Aku tau karena aku selalu memperhatikan wajahku yang datar ini.

Hidupku kujalani biasa saja setiap harinya, biasa saja dalam artian yang kumaksud adalah tak bewarna. Dan sekarang adalah hari baru dan tetap masih terlihat sama saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.27. Aku langsung buru-buru merapikan rambut dan tasku. Tentu saja aku tidak mau terlambat pada hari pertama di sekolah baruku.

Semua pun sudah siap, rambut kuikat cepol berantakan, tas ku juga sudah bertengger manis di belakang punggungku. Aku langsung membukakan pintu kamarku dan berjalan keluar kamar.

Saat aku berjalan melewati ruang tamu, aku sudah melihat ibuku duduk di sofa sembari membaca koran dan menyeruput kopinya sesekali.

Aku yang  melewati ibu hendak membuka pintu dan pergi  tanpa pamit, membuatnya berdiri dan melempar korannya ke lantai sembari menatapku tajam. 

"HEH!! KAMU ANAK KURANG AJAR YA?! MAU MAIN PERGI TANPA PAMIT! KAMU DIAJARKAN SOPAN SANTUN KAN?!" Bentak Ibu kepadaku.

Aku hanya terdiam dan menunduk."Mudah-mudahan omelannya dipercepat..." Batinku.

"HEH JAWAB IBU!! MANA SOPAN SANTUNMU?! AKU TIDAK MENDIDIK ANAK KURANG AJAR SEPERTIMU YA!!"

Aku hanya menunduk dan mendengarkan ibuku, Gina membentakku habis-habisan.

Aku bukannya bersikap kurang ajar, bukan! Tetapi ibu selalu memarahi ku jika aku berbicara kepadanya, kenapa? Katanya ia jijik, muak melihat wajah ku dan pengen rasanya ia muntah saat melihat mataku ini.

Itulah mengapa aku tidak menyapanya hari ini, aku tidak mau dibentak oleh ibuku. Tetapi yahh sudah nasib...Sepertinya aku akan selalu salah di matanya.

Aku yang tidak merespon omongan ibu dari tadi membuatnya murka, ia hendak melayangkan tamparan di pipiku jika saja tangannya tidak ditahan oleh abangku, Gavin.

"MAMA KENAPA SIH?! SEJAK KEMATIAN PAPA, MAMA SELALU MEMBENTAK DAN MEMARAHI SELLA, SELLA KAN GAK ADA SALAH APA-APA!!" Gavin pun meninggikan suaranya.

Ibu menghempaskan tangan Gavin yang sedang menahan tangannya dan mengernyitkan dahinya kesal.

"Kok kamu malah memarahi mama sih?! dia tuh yang kurang ajar mau main pergi tanpa nyalam ataupun nyapa mama! Mama aja gak ngajarkan kalian begitu! Eh..Dianya kurang ajar mau main pergi aja!"

Aku yang bersembunyi dan menunduk di belakang badan Gavin hanya terdiam, "bisakah dipercepat? bakalan terlambat nih..."

"Udah mending mama urusin perusahaan aja! Aku ama Grisella gak mau terlambat, jadi kami pergi dulu ya ma. Dan tolong! jangan perbesar masalah kayak beginian lagi!"

Gavin pun menarik tanganku menuju mobil sportnya yang bewarna hitam. Aku pun masuk ke dalam mobil bang Gavin. Setelah ia masuk, ia langsung melajukan mobilnya. Keadaan pun menjadi hening, aku hanya melihat keluar jendela dengan dagu bertopang dengan tangan kananku.

Seketika keadaan hening pecah karena bang Gavin berdeham singkat, tetapi aku tetap menghiraukannya. Melihatku yang tidak peduli membuatnya angkat bicara.

"Jadi...Apa lo gak deg-degkan Sell, masuk SMA??" Kata bang Gavin sembari menaikkan sebelah alisnya.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku tanpa berkata sepatah kata apa pun.

Sepertinya bang Gavin sudah tau jawabanku. Ia pun menanyakan hal-hal lain seperti "Apa kau sudah sarapan?", "Jajanmu ada kan?", "Siapa yang akan menjemputmu?"  Bla bla bla And so on.

Aku hanya menjawab dengan kata "Hmm", sesekali juga mengangkat kedua bahuku. Dan seperti sudah terbiasa dengan jawabanku, bang Gavin mengerti dan hanya tersenyum.

 Aku heran bagaimana dia bisa bersabar menghadapi adikknya ini yang bahkan tak peduli pada siapa pun, apa pun dan bahkan pada dirinya sendiri. Ia memang orang yang paling sabar dan pengertian dalam menghadapiku.

Sejak kepergian ayah, hanya dia yang selalu membelaku dari amarah ibu yang tiada hari terus meluap. Dan aku selalu heran mengapa selalu aku yang menjadi bahan pelampiasan ibu. Aku bahkan bertanya pada diriku, apakah sebetulnya aku ini anak pungut? Hanya Tuhan lah yang Tau.

Hari ini bang Gavin sudah mulai kuliah di kampus yang cukup ternama. Sedangkan aku hanya disekolahkan di sekolah negeri yang terbilang biasa saja, tetapi aku tak  mengeluh. Padahal aku bisa saja sekolah di SMA internasional.

Keluarga kami cukup kaya, dan karena jaringan perusahaan yang luas, bisa saja dengan mudah namaku dimasukkan sebagai siswi di salah satu SMA internasional yang ada. Tetapi keinginanku yang maunya bersekolah di dekat rumah  dan ketidaksetujuan ibu agar aku masuk SMA internasional, membuatku akhirnya masuk ke SMA negeri.

Beberapa blok lagi, sampailah aku ke sekolah baruku. 

"Pasti hari ini biasa-biasa saja kan?" Batinku dalam hati.


*****

Bagaimana bagus gak?? Kependekan kah?? Atau ada yang kurang? kalau begitu feedbacknya dong~~

Oh ya jangan lupa Vote and Komennya ya Gaessssss:v

XOXO

Heartless GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang