"Finally! Graduate!"
Itu Lee Hangyul, tersenyum begitu bahagia dari dalam layar handphone-ku, membuatku ikut tersenyum senang melihatnya yang seperti itu.
Lee Hangyul baru saja menyelesaikan ujian nasionalnya tadi siang, membuatnya langsung melakukan sebuah panggilan video denganku.
"Aku yakin kau menyimpan banyak contekan selama ujian berlangsung" timpalku.
"Enak saja!" balasnya membela diri, mempelihatkan wajah kesalnya dari layar itu.
Sangat di sayangkan. Ketika yang lainnya sudah menyelesaikan ujian nasional mereka, aku masih disini, tinggal bersama perutku yang semakin membuncit.
Aku bahkan meninggalkan sekolahku karena perut buncit itu. Berhenti memikirkan impianku untuk sementara waktu.
Aku masih berdiri di garis start, sementara mereka semua sudah mulai berlari.
Miris.
"Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan "Tunggu aku, okay?"
"Tahun depan aku akan kembali" dan lelaki itu menghela nafasnya dari sana.
Tentu saja.
Tidak masalah kau masih berdiri di garis start, karena itu belum bisa membuktikan bahwa mereka mendahului dan menaklukkan semuanya. Ibaratnya kau hanya terlambat beberapa menit dalam sebuah lari maraton. Ketika kau sudah mulai berlari, kau masih bisa mengejar mereka dan bahkan mendahului mereka.
Aku yakin itu.
"Pastikan jangan terkejut setelah ini" timpal Lee Hangyul kemudian.
Aku mengernyit heran "Apa yang kau bicarakan?"
"Pastikan saja" dan panggilan video itu terputus. Lee Hangyul memutuskan panggilan telepon itu begitu saja, membuatku mendengus kesal karena itu.
Apa-apaan itu.
Kini giliranku untuk menghela nafas, bangkit dari dudukku dan berjalan kearah cermin yang ada di kamarku. Kurasa sudah menjadi kebiasaanku untuk terus bercermin setiap saat, mengamati dengan seksama perut buncit itu.
Aku memekik pelan, merasakan suatu pergerakan yang membuat perutku tidak nyaman.
Bayi itu bergerak, membuatku menyentuh perut buncit itu.
Aku memperhatikan pantulan diriku pada cermin, lebih tepatnya memperhatikan pergerakan selanjutnya dari bayi itu.
Dia menendang. Aku merasakan tendangan itu pada telapak tanganku. Tendangan kecil pertamanya.
Aku menggigit bibir bawahku, kembali merasakan tendangan itu.
Tendangan kecil yang membuat perasaanku seketika menghangat. Tendangan pertama bayiku.
Jadi seperti ini rasanya?
Jadi seperti ini perasaan bahagia seorang ibu ketika merasakan tendangan pertama bayi mereka?
Bayiku.
"Bunda" aku mengalihkan pandanganku ketika ibuku baru saja masuk ke dalam kamarku, berjalan mendekatiku yang masih berdiri di depan cermin.
"Dia menendang bun" ibuku menyentuh perutku, memberikan elusan lembut disana.
"Sakit?" tanya ibuku, membuatku menggeleng kuat sebagai jawaban.
"Bunda ingat saat tendangan pertama kamu, bunda benar-benar berteriak kegirangan karena begitu semangat"
"Dan ayah kamu ikut panik" lanjutnya seraya terkekeh pelan.
"Tendangan pertama kamu menjadi salah satu momen terbahagia bunda" dan ibuku beralih mengelus rambutku, dan meninggalkan sebuah kecupan kecil di dahiku.
Aku kembali menggigit bibirku, kembali memperhatikan pantulan diriku pada cermin di depanku.
Ini semua benar-benar membuatku bimbang.
Haruskah aku mencari orang tua pengganti untuk bayi ini?
"Bunda sama ayah mau membantuku, bukan?"
"Tentu, sweetheart"
"Can i keep it?" aku menyentuh punggung tangan ibuku yang masih mengelus perutku, menatapnya penuh harap.
"Can i just be a mother?" lanjutku, tersenyum kecil seraya mengelus lembut perutku.
Ibuku terdiam.
"Tentu saja kami akan selalu membantumu"
"Selalu" dan di detik berikutnya ibuku kembali mendaratkan sebuah kecupan kecil di dahiku, mengerti akan pertanyaanku untuknya.
Iya. Ini adalah pilihan yang tepat.
Lee Hangyul benar.
Bayi ini adalah anakku, dan sudah seharusnya aku menjaga dan membesarkannya dengan sepenuh hati.
Kurasa ini tidak begitu buruk. Ketika tahun depan aku sudah mulai berkuliah, aku bisa mengurus masalah kampusku hingga sore hari, dan selebihnya aku akan menjaganya.
Tidak masalah (y/n).
Lagipula ini sudah menjadi tugasmu.
"Sialan!"
Aku terperanjat kaget, begitu juga dengan ibuku, membuat kami segera keluar dari dalam kamarku begitu mendengar suara tamparan yang begitu keras dari luar.
Itu ayahku.
Pria itu tidak sendiri.
Mendadak aku merasakan kakiku melemas.
Jantung itu kembali berpacu tidak normal. Hatiku menjerit, meneriaki kata rindu untuk lelaki yang kini menundukkan kepalanya seraya memegang sebelah pipinya, membiarkan ayahku melakukan apapun yang pria itu ingin lakukan kepadanya.
"Ayah?" kakiku hendak menghampiri mereka, hendak menahan perlakuan buruk ayahku kepada lelaki itu.
Kedua mata kami bertemu, membuat perasaan rindu itu semakin mendalam. Tatapan sendu itu, aku benar-benar merindukannya.
Seketika semua memori indah sekaligus memori menyakitkan, semua memori tentang lelaki itu terputar ulang di kepalaku.
Ini semua memang menyakitiku. Sangat. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat merindukan semua tentangnya.
Pandangan lelaki itu kini beralih menatap perutku, membuatnya tersenyum miris melihatnya.
Apakah ini yang di maksudkan oleh Lee Hangyul tadi? Menyuruhku agar tidak terkejut?
Aku bahkan sempat berpikir Lee Hangyul lah yang akan mengejutkanku dengan kejutan kecilnya karena mendatangi rumahku yang bahkan sangat jauh dari ibukota.
Kau harus menempuh perjalanan selama 3 jam untuk sampai kesini.
Ternyata aku salah.
Ibuku menahanku, menahan tanganku untuk tidak menghampiri lelaki itu.
"Kamu tahu betapa menderitanya anak saya karena ulah kamu?"
"Bajingan!"
Ibuku membawaku ke dalam pelukannya, tidak membiarkanku untuk menyaksikan lelaki itu kembali menerima tamparan yang sangat keras dari ayahku.
"Maafkan aku"
Hatiku berkata untuk segera menghentikan semua ini. Namun pikiranku mengelak, membiarkan semua ini terjadi karena lelaki itu pantas mendapatkan perlakuan itu.
Ternyata benar, bahwa hati dan pikiran tidak pernah sejalan.
"Maafkan aku"
Itu Kim Yohan.
Lelaki itu kembali.
***
Makin gak jelas gak sih? :( Semoga kalian tetap suka :(
KAMU SEDANG MEMBACA
between | kim yohan
FanfictionKarena hamil diluar nikah selalu membawamu ke dalam sebuah bencana ©2019 by deeongg