31.

2.1K 68 7
                                    

Vote++++

Dan sampai Alia di depan ruangan yang beberapa jam yang lalu ia datangi.  Suasana penuh haru menyelimuti. Tangis pecah terdengar. Alia berjalan paling akhir. Semakin berat menuju kesana. Semakin jauh rasanya. Semakin lemas kaki itu untuk di langkahkan. Alia tidak mau mendengar kabar buruk yang ia dengar beberapa menit sebelum kemari. Lebih takut mengetahui kebenarannya. Dan lebih berat pula menerima jika itu adalah kenyataan. Sudah ia di depan pintu ruangan yang tadi penuh senyum, bukan tempat berbaring eyang hajinya.

Ia masih di ambang pintu. Tak kuasa masuk, melangkahkan kakinya satu jengkal saja. Melihat orang-orang yang meneteskan banyak air mata malam itu. Membuat hatinya ikut pilu. Membuat anakan air mata itu mendesak untuk lolos dan membentuk anakan sungai di pipi Alia.

Sampai terdengar bunyi pintu terbuka dan roda yang berputar di atas lantai licin rumah sakit. Alia menoleh. Berbalik. Melihat Abinya berjalan keluar, mengikuti ranjang dengan kain putih menggembung di atasnya. Ranjang yang didorong dua orang perawat dengan seragam putih lengkap ditambah masker penutup  wajah. Rusyo berjalan tanpa menoleh ke arahnya.

Alia memberanikan diri melangkah, mengikuti Abinya. Terus saja ia ikuti. Rumah sakit sudah sangat sepi di jam-jam malam seperti ini. Hanya bunyi gelindingan roda yang berputar dan langkah kaki orang yang jalan sekali-kali. Alia berjalan tidak terlalu cepat mengikuti mereka. Ia hanya masih belum siap untuk membenarkan itu.  Dan sampai pada pintu keluar. Lebih tepatnya ke tempat ambulans. Alia berjalan semakin mendekat. Dan ia berhenti, tepat setelah Rusyo menoleh ke belakang. Mendapati putri semata wayangnya sudah ada disana dengan wajah sedih dan tangis yang sudah ia tahan sejak tadi. Rusyo berjalan mendekati Alia saat ranjang sakit itu dimasukkan ke dalam ambulans beserta yang ada di atasnya. Alia hanya mematung. Rusyo datang an langsung mendekap putrinya itu. Membawa anak perempuannya ke dalam pelukan hangatnya. Alia membenamkan wajahnya di dada sang Abi. Baju Rusyo basah, terkena air mata Alia yang sejak tadi ditahanya. Ia terisak dalam dekapan Abinya, ayahandanya. Dielus kepala Alia sampai punggungnya, semakin terisak putrinya.

"Sudah ya Al jangan ditangisi terus" pinta Rusyo.

"Abi bilang Eyang bisa pulang, tapi Alia nggak mau eyang pulang kayak gitu" protes di sela tangisnya.

"Iya, tapi ini yang terbaik buat eyang haji, kasihan kan kalau eyang haji sakit, Alia mau lihat eyang sakit terus"

Gadis itu menggeleng, ia seperti anak kecil saja saat ini.

"Ikhlaskan ya, biar eyang nggak sakit terus, udah sembuh sekarang" berusah Rusyo menguatkan.

Alia mengagguk mengiyakan. Tapi ia semakin menangis. Semakin terisak ia di pelukan Abinya.

"Udah jangan nangis terus, nanti abi ikutan cengeng kayak kamu" Diusap air mata yang telah menghiasi wajah putri semata wayangnya itu.

Alia mengangguk lagi, mengiyakan. Ia haru ikhlas dan kuat. Ditatapnya Rusyo, abinya. Terlihat kesedihan di sana. Lelah bercampur lega. Matanya merah,  Alia yakin Abinya sudah menangis tadi. Alia harus kuat! Ia tidak boleb cengeng. Ia harus menguatkan Abinya. Abinya sekarang adalah tiang oegangan keluarga. Ia anak pertama dan di keluarganya. Dan Eyang umi akan berpegangan padanya. Dan Alia harus menjadi penguat Abinya, Rusyo. Ia tidak boleh cengeng. Alia tak mau pertahanan Rusyo runtuh gara-gara tangisan anak perempuannya yang sudah remaja.

"Abi yang kuat ya! Alia selalu ada buat Abi"

Rusyo terseyum. Meskipun begitu, Alia masih dapat melihat kesedihan mendalam di matanya. Yang meninggal dunia adalah ayahnya.

"Nanti Abi pulang naik ambulans sama Eyang Umi, nanti Alia sama Umi pulang biar disetirin Om sama tante, nanti langsung ke rumah Eyang ya" beri tahu Rusyo.

(menuju) Jodoh Halalku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang