12.

3.6K 121 2
                                    

Alia pov

Dua bulan, iya dua bulan sudah aku bersahabat dengan tekadku ini. Bersahabat dengan segala teori yang sampai sekarang masih melayang-layang dipikiranku. Dua bulan sudah ku bergelut Soal-soal yang harus berhubungan dengan rumus, rumus dan rumus. Aku sempat berpikir apakah orang yang membuat soal itu terlalu pintar atau terlalu bodoh bagaimana bisa mereka berbagi persoalan sulit yang bahkan aku saja belum tentu bisa menjawab.  Stidaknya jika mereka tidak tahu berilah pertanyaan itu pada seorang doctor, dosen, profesor yang pasti sudah ahli. Jangan berikan kepadaku yang masih anak smp "bau kencur" kata umi. Dan aku berharap agar mereka belajar dan bisa mandiri dalam menjawab persoalan itu. Apa kalian masih bingung?

Begini, ini sudah dua bulan dari kejadian Hamdan yang babak belur itu. Dulu rasa penasaranku sangat besar, ingin sekali aku mengungkap siapa dalang dibaliknya yang membuat luka di muka Hamdan. Tapi karena penjelasan Hamdan akhirnya aku luluh dan tak akan mengungkitnya lagi. Oh ya, hubunganku dan Hamdan makin membaik setelah kejadian itu. Kami sering belajar bersama, bertukar pikiran kadang hang out bertiga dengan Arozy. Kalian tahu lah, kalau Arozy lagi marahan sama pacarnya dia pasti perginya ke aku. Seperti kata anak-anak kami gampang bertengkar tapi gampang juga baikan, Hamdan pun heran dibuatnya. Dekat dengan Hamdan membuatku mengerti alasan pak Darwis memaksaku agar Hamdan ikut badminton dan penolakannya, ia sudah cerita latar belakang masalah itu.

Flashback on

"Hamdan" panggilku pada dia yang sedang asyik menyeruput tek kotak di tangannya.

"hmm"

"Ham, boleh gue tanya?"

"boleh" jawabnya singkat padaku.

"Tapi..  Janji jangan marah atau tanya apa gitu ya" ia tak menjawab.

"Ham, ayolah"

"Iya, iya bilang aja" jawabnya membuatku sedikit tak suka.

"Emm, Ham sebenarnya waktu itu pak Darwis yang minta gue buat jadiin lo pemain badmintoon di class meet"

"Ya, gue udah tau" jawabnya tanpa mepirik sedikitpun.

"Lah, beneran?"

"Ayah udah cerita semuanya ke gue"

"Jadi lo nolak, padahal lo tau itu bukan mau gue"

"Ya ngak, ayah baru bilang ke gue sebelum lo dateng ke rumah"

"Jadi lo ngak salah oaham kan ke gue" tanyaku dengan muka polosku.

"Ya ngak lah" ia berdiri, membuang kotak yang tehnya sudah habis diminum olehnya.

"Alhamdulillah, syukurlah kalau gitu"

"Lo jadi mau tanya apa? " tanyanya saat ia sudah kembali di posisi duduknya.

"Kata temen gue lo dulu juara badminton, terus kenapa lo nolak buat main, padahal kan ini cuma buat seru-seruan aja?"

"Gue terima, buktinya ini hidung gue masih ada bekas luka" menunjukkan garis melintang di hidung mancungnya.

"Awalnya lo kan nolak"

"Gue takut"

"Takut? Takut kenapa? " ia tak menjawab, ia malah berdiri menjauh. Hening

"kalau lo gak bisa cerita ngak papa kok" aku ingin memcah suasana yang mulai absurd ini.

"Ngak, bukan gitu" ia menyangkal "gue..  Gue takut jadi jahat" kedengarannya sangat membingungkan untuk ku cerna.

(menuju) Jodoh Halalku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang