GOB-019

806 124 0
                                    


"Aku nggak mau kuliah! Titik, nggak pake koma!"

Keputusanku tak bisa diganggu gugat. Bagaimana aku berangkat ke kampus ketika semua orang telah mengetahui kelemahan terbesarku? Melakukan itu sama saja seperti bunuh diri!

Mama menatapku iba, mungkin ia juga sudah lelah membujukku. Maklum, setengah jam lebih berlalu dan tekadku tak bisa dibantah lagi. Iya, aku keras kepala. Lebih baik begitu 'kan daripada harus menerima hinaan dari teman-teman?

"Oke, mama nggak maksain kamu. Sekarang, kamu bisa tenangin diri dan renungkan baik-baik langkah apa yang harus kamu lakukan berikutnya. Mama pamit mau kerja."

Dan tubuh wanita yang telah merawatku itu pun lenyap dari balik pintu. Aku merasakan kesepian, bukan pilihanku untuk menjauh dari masalah seperti ini. Tapi, keadaanlah yang memaksaku. Aku lemah. Tampak kuat seperti apa pun kenyataannya aku adalah gadis yang rapuh. Coba saja lelaki itu tidak datang menolongku tepat waktu, mungkin kemarin aku sudah jadi gadis yang benar-benar gila.

Aku masih penasaran, siapa yang membocorkan rahasiaku? Tujuannya apa?

Aku menyandarkan punggungku ke headboard, cuaca di luar begitu cerah. Tampak lezat untuk dinikmati dengan berjalan-jalan di taman belakang. Andai aku punya nyali melakukannya, kenyataannya, aku takut jika keempat pria itu menyerangku bersamaan. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa kututupi. Mereka pun juga sudah tahu kalau aku androphobia.

***

"Yena?!"

Yena, sahabatku itu datang jauh-jauh dari rumahnya untuk menengok keadaanku. Aku bersyukur, kupikir aku tak lagi punya teman. Rupanya, ia masih setia bersamaku.

Yena datang membawa banyak buah-buahan. Katanya, mentalku mungkin terganggu gara-gara 'pria' tetapi staminaku tak boleh terkena dampaknya. Aku harus tetap sehat demi melanjutkan hidupku. Mana ada lagi sahabat sebaik Yena di dunia ini? Meskipun aku punya Yoojung dan Saeron, sampai sekarang, kedua gadis itu tak ada bersamaku disaat aku butuh. Cukup miris, namun aku yakin mereka punya alasan. Aku juga tidak berani menuduh.

"Bagaimana perasaanmu? Apa sudah baikan?"

"Seperti yang kamu lihat. Terima kasih."

Yena merapatkan duduknya di sampingku. Ia setengah berbisik.

"Sebaiknya, kamu segera usir deh cowok-cowok itu dari rumahmu. Perasaanku terhadap mereka semakin nggak enak. Aku takut kamu kenapa-napa."

Aku mencerna ucapan Yena, ada benarnya juga. Tak hanya perasaannya, perasaanku pun juga diliputi rasa takut. Bagaimana kalau nereka memanfaatkan keadaanku?

"Tapi ... aku nggak bisa, Yen."

"Kenapa? Bukannya sekarang kamu punya alasan buat ngusir mereka? Kamu tinggal bilang ke mamamu kalau–"

"Ini semua rencana mama. Mama mau aku sembuh, makanya mama ngebiarin keempat cowok itu tinggal di sini."

"Wah, kacau juga."

Apa hanya aku yang merasa aneh? Kemarin-kemarin Yena ngotot supaya aku segera mendapatkan pacar, biar ada yang jagain. Dia juga sudah tahu aku punya ketakutan pada laki-laki, tapi baru kali ini aku dengar sarannya agar aku menjauh dari lelaki. Apa alasannya?

"Mama kamu pulang jam berapa?"

"Oh, dia lembur. Kemungkinan balik besok sore."

Get Out, Boys! [GOB] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang