"Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan Jayden. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengenalkan karya lukis Anda kepada para pengunjung di acara pameran besok lusa."
"Saya yang berterima kasih, Nona. Kalau begitu, saya undur diri. Selamat siang."
Begitu tamu itu pergi, dengan segera kurapikan meja kerjaku dan kumatikan komputerku. Dominic Ethan masih setia berdiri di belakang. Dari gerak-geriknya, ia tampak ingin membantu.
Ethan adalah seorang laki-laki berumur 28 tahun. Lulusan Visual Art dari salah satu universitas ternama di Adelaide. Postur tubuhnya jangkung dan berisi, bermata biru gelap dan berambut cokelat. Kami adalah rekan kerja kurang lebih tiga bulan. Dia tampan, seperti orang Australia kebanyakan. Tapi jangan salah, Ethan telah menikah dengan Daryl—istrinya—sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mereka dikaruniai anak perempuan lucu berumur 1 tahun bernama Emily.
"Sohyun, ada yang bisa kubantu?" tanya Ethan.
"Ethan, apakah 300 karya yang terkumpul dan terseleksi sudah sesuai dengan tema kita?"
"Nope. Nggak semua, tapi lebih dari setengahnya masuk kriteria."
"Baguslah. Pekerjaan kita jadi tidak banyak. Tinggal melakukan persiapan dan mempelajari setengah lebih yang ada."
Ethan tersenyum, lalu dengan cekat kedua tangannya membantuku merapikan dokumen.
Setelah mendapat gelar sarjanaku di bidang seni rupa, aku memilih bekerja sebagai seorang kurator seni di AGSA. Pindah dari Melbourne, aku meninggalkan papa untuk sementara. Dan juga Felix, anak itu fokus mengerjakan tugas akhirnya supaya bisa segera menyusulku dengan gelar yang sama.
Namun, mendadak aku teringat rumah. Teringat mama, dan juga teman-temanku yang ada di Korea. Sudah lima tahun lebih aku hengkang dari tanah kelahiranku demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Sekarang, tujuanku telah tercapai dan aku ... ingin pulang.
"Ethan, terima kasih kerjasamanya selama ini. Tapi ... kurasa aku tidak lama lagi akan resign."
"What?! Why? Kenapa tiba-tiba?"
"I have to go home. My mom has been waiting for me in South Korea. And I miss her so much."
Wajah Ethan berubah lesu. Tertekuk. Aku tahu kami baru kenal, tapi dia sudah seperti sahabatku. Aku pun tak tega bila harus berpisah darinya, juga dari galeri seni yang membesarkan namaku ini.
"It's okay. Your decision is yours. Aku tidak berhak melarang atau mencegahmu, tapi tolong ... jangan lupakan kami di sini."
***
Pameran seni yang telah kupersiapkan bersama tim sejak sebulan lalu akhirnya terlaksana juga. Sukses. Beberapa pengunjung berasal dari luar negeri, kebanyakan para kolektor seni.
Dengan menjadi kurator, aku bertemu orang-orang dengan berbagai tipe. Mulai dari yang paling ramah, percaya diri, terpelajar, sinis, emosional, sampai yang paling keras kepala. Terkadang aku sedikit berdebat dengan mereka yang menyinggung masalah harga. Padahal, nominal sebuah karya seni itu nggak dilihat dari bagus tidaknya hasil, tetapi usaha para seniman yang telah membuatnya dengan sepenuh hati.
Tadi siang, aku sudah berbicara empat mata dengan atasanku, Mr. Albert, sekalian berpamitan dengan beliau. Meskipun kami melalui beberapa kali negosiasi, keputusanku untuk kembali ke kampung halaman sudah final. Akhirnya Mr. Albert mengalah dan malah mengoleh-olehiku dengan beberapa pesan mendidik.
Sekarang, aku berada di apartemen. Setelah merebus pangsit kuah kalduku untuk makan malam, aku bergerak menuju meja makan sembari membuka laptop.
"Sohyunnn!! Apa kabar?!!" Sebuah suara cempreng dan melengking terdengar begitu video call yang kunyalakan tersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Out, Boys! [GOB] ✔
FanfictionKim Sohyun tumbuh dengan sifat yang tak biasa. Kedekatannya dengan perempuan membuat Ibunya sendiri ragu untuk menyebutnya normal. Gadis cantik, tinggi, dan pintar itu takut dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki! Bagaimana keseruan Sohyun yang d...