DUA PULUH SATU

11K 1.7K 133
                                    

Sudah satu minggu ini Puspa dan Senja tinggal di rumah minimalis yang dipersiapkan Panji untuk mereka. Sebenarnya Puspa ingin pergi mencari pekerjaan tapi karena keadaan Senja yang sedang sakit membuatnya harus tetap di rumah. Puspa tidak mungkin meninggalkan Senja sendirian di rumah apalagi keadaan anaknya itu sedang tidak sehat. Puspa akan selalu ada disisi Senja apapun keadaannya.

Puspa meletakkan kompres di kepala Senja agar demamnya turun tapi masih juga belum ada hasilnya. Dengan sabar Puspa merawat putrinya yang sedang sakit. Puspa menggenggam tangan mungil Senja yang terasa hangat.

"Kamu harus sembuh ya sayang, jangan pernah tinggalin Mama. Mama Cuma punya kamu di dunia ini, Mama gak bisa kalau kamu kenapa-napa" Puspa meletakkan tangan Senja di pipinya, air matanya sudah menetes.

Senja membuka matanya perlahan. "Ma.." panggilnya lemah.

"Iya sayang"

"Senja tadi ketemu Papa, Senja boleh ikut Papa sekarang aja Ma?"

Puspa menangis histeris mendengar perkataan Senja, dia menggeleng kuat. "Enggak!! Senja gak boleh ikut Papa. Senja gak boleh kemana-mana, Senja gak boleh ninggalin Mama" teriaknya. "Senja memang tega ninggalin Mama sendiri disini?" tanya Puspa terisak.

Senja menggeleng pelan.

"Senja disini aja sama Mama, Papa gak apa-apa kok kalau sendiri" ucap Puspa pelan.

Senja hanya mengangguk memejamkan mata, tubuhnya begitu lemah. Harusnya Puspa membawa Senja berobat ke rumah sakit tapi sayangnya Puspa tidak memiliki cukup uang. Sisa uang yang dia miliki sudah terpakai untuk keperluan mereka sejak kematian Panji karena keluarga Usmadi sama sekali tidak mau membantu bahkan meski Puspa dan Senja masih tinggal di rumah itu, mereka tidak mau memberikan makan hingga Puspa terpaksa harus membeli makanan sendiri. Tabungan yang dimiliki Panji semasa hidup juga di kuasai oleh Ratih karena merasa lebih berhak atas harta peninggalan Panji.

Puspa mengusap lembut kepala Senja sambil sesekali membasahi handuk untuk mengompres Senja, terdengar suara ribut di depan rumahnya. Puspa segera beranjak untuk melihat keributan itu.

"Ada apa ini? Siapa kalian?" tanya Puspa melihat beberapa orang pria bertubuh besar berada di depan rumahnya, mereka memasang palang bertuliskan Rumah Ini Di Jual

"Bos kami sudah membeli rumah ini jadi kamu harus segera angkat kaki dari sini sekarang juga"

"Apa? Gak ini gak mungkin, ini rumah saya dan saya gak pernah menjualnya" bantah Puspa.

"Ekhem"

Pria-pria bertubuh besar itu menyingkir memberi jalan pada pria tua yang berjalan sambil menghisap cerutu di bibirnya, wajah keriput dan uban di kepalanya tidak dapat menyembunyikan wajah bengisnya.

"Ternyata kau lebih cantik dari yang kulihat di foto" pujinya menatap Puspa dari ujung kaki hingga kepala.

"Siapa kamu?" tanya Puspa waspada.

"Aku pemilik rumah ini dan sekarang rumah ini akan kujual"

"Tidak mungkin, ini rumahku. Suamiku yang memberikannya padaku" sanggah Puspa.

"Benarkah? Apa kau punya bukti jika rumah ini milikmu?"

Puspa terdiam, tidak mengerti bukti apa yang dimaksud pria tua ini.

Anak buah pria tua itu memberikan map pada bosnya. "Ini adalah sertifikat rumah ini yang sekarang sudah menjadi milikku. Aku sudah membelinya dari keluarga Usmadi, ini bukti jual belinya"

AKU BUKAN WANITA JALANG ✔️(DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang