[41] sayap-sayap harap

127 13 0
                                    

Apakah salah aku berharap padamu? Berilah kejelasan atas ini semua. Katakan apa maumu, memintaku bertahan atau memintaku untuk menjauh.
-asa-

Ayah, bunda. Dia teman Syaqila, jangan berfikir hal yang tidak-tidak. Syaqila mohon. Jangan bikin perasaan Syaqila kembali terombang ambing diatas sayap-sayap harapan.

"Nak Alfan teh sopan nduk" celetuk ayah tiba-tiba.

"Mmm, gitu deh yah. Cuma kadang nyebelin yah. Tapi, dia baik. Buktinya mau nganterin Sya ke rumah. Hehe" aku terkekeh dengan ucapanku, lebih tepatnya adalah pengakuan dan kejujuran.

"Lah, namanya anak muda ya gitu yah" Bunda menambah kesan setuju akan hadirnya sosok Alfan.

"Ah, engga gitu juga bund.", cetukku spontan.

"Hayu, kamu suka ya nduk sama Alfan?" ayah bergeming, dan membuka sesi tanya jawab.

Pertanyaan macam apa itu?

"Mmm, anu itu" aku terdiam

Jawaban macam apa ini?

"Ke kamar dulu ya yah, bund" ucapku kemudian

"Loh, belum dijawab nduk" teriak lirih bunda

Aku tersenyum, lalu berjalan langkah cepat menuju kamarku. Dengan pelan menutup pintunya dan bersender dibaliknya. Aku terduduk masih dibalik pintu  kamarku. Aku memejamkan mata sejenak dan merenung dalam hati. "Tuhan, apakah ini takdir dari-Mu? Jika bukan, maka jauhkan jika dia maka dekatkan. Aamiin".

🌿🌿🌿

"Aduh" rintihku yang tiba-tiba terbangun dari tidurku. Ternyata, ada benda jatuh tepat diatas wajahku. Boneka kelinci. Pasti ini kerjaan, adik.

"Ka, bangun" aku masih terbaring diatas tempat tidurku ternyata adikku. Lagi-lagi, aku terlupa. Sehabis sholat isya aku tertidur, tugas sekolah adikku terlupakan.

"Eh iya. Astaghfirullahal'azim PR ya. Kaka lupa dek" ucapku sembari langsung lompat dari tempatku terbaring tadi.

"Bukan itu kaka. PR nya udah selesai kok. Cuma, aku pengin martabak ka. Beliin ayo," Syafa merengek, padahal dia udah masuk SMK sekarang tapi masih seperti anak kecil saja.

"Mmm, laah udah jam segini ah dek" aku melirik jam dinding yang sudah jam 21:00 WIB.

"Ah, kaka. Tapi aku pengin. Beliin ya, kalo ngga Syafa ngambek ngga mau ngomong sama kaka lagi pokoknya." Syafa pergi begitu saja, aku masih mengkucek mataku masih ngantuk.

"He'eh deh, bentar. Sana kamu siap-siap. Mau ikut ngga?" tawarku.

"Mau. Bentar ka" Syafa langsung berbalik meng iyakan dan kembali berjalan tanda setuju.

Malam ini terasa dingin, menggerogoti hingga relung qalbu. Gelap jalanan, segelap perasaanku yang membisu. Sunyi kedap tak bersuara. Aku melajukan sepeda motor keluar dari kompleks perumahan. Ternyata ramai. Malam ini malam minggu. Niatku menemani Syafa membeli martabak.

Manusia bisa berencana, namun tangan yang diatas lah yang mengaturnya. Syafa merengek melihat keramaian pasar malam. Akhirnya aku membelokan arah motorku memasuki tempat parkir pasar malam itu.

"Kiri kiri, yak terus. Depan. Stop" ucap mamang tukang parkir. Dia memberikan secarik kertas nomor parkir. Dan aku memberi uang dua lembar uang seribuan.

"Makasih mang" ucapku sembari menerima karcis dan membenarkan niqab yang kukenakan.

"Sama-sama neng" jawab mang tukang parkir sembari membenarkan letak motorku tadi.

Menjaga dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang