1. Permulaan

1.4K 123 40
                                    

"Tenang aja, nggk bakal terlambat kok. Santai aja," ujar Yunis.

"Iya dah, terserah lu."

"Hampir saja." Yunis dan Nindi terengah engah saat melewati gerbang sekolah. Hampir saja mereka terlambat jika saja mereka tidak berlari.

"Lain kali ingat lagi barang bawaan, jangan sampe ada yg ketinggalan," kata Yunis menasehati.

Sementara itu, dibelakang mereka gerbang sekolah ditutup bertepatan dengan bel sekolah yang berbunyi.

"Iya iya maaf." Nindi memegangi lengan kiri atasnya sambil tertunduk malu.

Mereka melanjutkan langkah menuju kelas masing masing, namun ternyata ada yang menghampiri mereka dari arah lapangan.

"Apa kalian baru masuk?" tanya orang didepan mereka.

"Iya, baru ngelewatin pagar, kenapa?" balas Nindi.

"Gpp, bisa sebutin nama lu berdua? Ada sesuatu yang harus gue catet," perempuan itu lalu mengeluarkan cacatan dari kantong bajunya.

Baru saja nindi mau menyebutkan namanya, Yunis segera menahannya. "Buat apa lu butuh nama kita berdua?"

Perempuan didepan mereka berhenti menulis, menatap mereka terheran heran. "Kalian kan terlambat, jadi harus dicatat namanya."

"Kami tidak terlambat, justru kami masuk sebelum pagar ditutup," bantah Nindi.

"Alasannya kalian tidak membantu, tetap tidak bisa dipercaya," balas perempuan itu.

"Bisa saja kalian menyuap satpam agar bisa masuk ke sekolah sehingga tidak terlambat, semua kemungkinan bisa terjadi," sambung perempuan itu.

"Jadi lu butuh bukti?" tanya Yunis dengan tatapan malasnya. Tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana untuk menyembunyikan emosinya yang hampir tidak tertahan.

Nindi yang melihat kantong Yunis yang mulai menunjukkan bentuk kepalan tangan langsung berdigik ngeri. Takut takut Yunis kelewat batas.

"Iya. Bukti," balas perempuan itu menatap, tanpa menyadari kepalan tangan dibalik saku celana Yunis.

Lama mereka bertatapan, akhirnya Yunis mengeluarkan tangan kanannya dari dalam sakunya, mengangkatnya perlahan ke kerah almameter sebelah dada kiri atas perempuan itu dan menggesernya ke samping.

Disana terdapat name tag yang sudah terpasang rapih, dan tulisannya terbaca dengan sangat jelas.

"Latania Fredella Putri," ucap Yunis keras.

Perempuan bernama Latania itu masih diam terpaku dengan apa yang dilakukan Yunis. Bahkan Nindi hanya bisa mengintip dari sela sela jarinya apa yang dilakukan Yunis.

"Jadi lu osis." Yunis menarik tangan kanannya kembali kedalam kantong dan gantian mengeluarkan tangan kirinya.

"Katakan pada Pak Michael jika siswa bernama Nindi Putri Diana dan Yunis Adi Pratama tidak terlambat, jika tidak percaya silahkan cek cctv di pos satpam. Sekian, terima kasih sudah mengingatkan kami agar tidak terlambat."

Yunis menepuk pundak kiri Latania dengan tangan kirinya, lalu berjalan melewati Latania yang masih terpaku.

"Nindi, ayo kita ke kelas." Nindi pun hanya bisa mengikuti langkah Yunis, tak bisa berbicara karena tidak tau harus berkata apa apa.

Latanis yang masih terpaku menggenggam cacatan kecilnya. Kemudian temannya datang menepuk pundaknya dari belakang. "Woi, kok melamun?"

Latania yang masih belum fokus menoleh ke sumber suara. Ternyata sahabatnya Zeline datang membawakan makanan ringan ditangannya.

One Dream, One DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang