"Sepertinya ada masalah baru yang datang ke kita," kata Yunis singkat.
***
"Jadi gimana sekarang Yun?" tanya Nindi seketika.
Suasana dekat ruang musik sudah mulai sepi, dan hanya ada mereka berdua disana. Yunis masih mematung dengan tangan yang sedari tadi sudah mengelus-ngelus dagunya.
"Yunis!" bentak Nindi kali ini.
Yunis hanya melirik ke arah Nindi. Wajahnya datar meskipun didalam kepalanya sedang memikirkan sesuatu tentang ruang musik.
"Sekarang gimana?" tanya Nindi lagi.
"Hhmm ..." Yunis berpikir semenjak. "Panggil Pak Anjasmara dan Pakel, sekarang cuma mereka berdua yang bisa kita andalkan."
Nindi pun mengangguk, dia bergegas pergi sementara Yunis maju untuk masuk ke dalam ruang musik.
Pintu ruang musik sepertinya dipaksa dibuka dari arah luar. Ini terlihat dari kusen pintu yang terbuat dari kayu patah ke arah dalam dan di pintu bagian luar terdapat banyak bagian yang menonjol ke bagian dalam.
Yunis masuk perlahan ke dalam dan memperhatikan keadaan sekitar. Banyak sekali alat alat musik yang dirusak, termasuk drum yang terdapat di pojok ruangan.
Mata Yunis tertuju pada 1 benda yang tergeletak di depan kakinya. Sebuah ponsel yang masih dalam keadaan merekam.
"Yunis, lu didalam?" panggil seseorang dari arah luar.
"Iya. Masuk kesini Nin, ada yang mau gue tunjukin," teriak Yunis.
Nindi berjalan masuk ke dalam ruang musik. Yunis menyodorkan benda yang sedari tadi mencari pusat perhatiannya.
"Coba lu liat," kata Yunis singkat.
"Ini ponsel kan? Ponsel siapa?" tanya Nindi tidak percaya.
"Tidak tau. Ponselnya dikunci. Satu cara supaya kita tau siapa pemilik ponsel ini adalah dengan menonton video itu dari awal sampai habis."
"Selama 1 jam?" Nindi terbelalak tidak percaya melihat durasi video yang sudah terekam di ponsel itu.
"Ya bisa jadi. Kita tonton videonya lalu setelah itu kita temui pemilik ponsel itu. Berharap saja semoga yang punya merupakan siswa dari ADS juga."
"Amora, dia salah satu anak eskul musik yang aktif," sambung Nindi langsung.
"Lu tau?"
"Tau. Gue sempet beberapa kali ketemu sama dia, tapi gue lupa dia kelas berapa sama jurusan apa."
"Oh, lu nggak begitu akrab sama dia."
"Iya, cuma sekedar tau dia Amora, udah sekedar itu doang."
"Oohh," Yunis mengangguk-angguk kecil.
"Oiya, mana Pak Anjasmara sama Pakel?" tanya Yunis sambil mencari-cari 2 orang yang sudah diharapakan kedatangannya.
"Pakel tidak bisa datang karena sedang pergi keluar sehabis rapat, sementara Pak Anjasmara sedang sibuk dengan kerjaan kepala sekolahnya" jelas Nindi.
"Tapi Pak Anjasmara nitip 1 pesan, dia ingin kita untuk melihat gitar kesayangan di ruang musik apakah hancur juga atau masih aman," sambung Nindi lagi.
Yunis hanya mengangguk sambil memegang dagunya. "Harusnya sih gitar itu ikutan hancur. Liat ruangan ini, hampir tidak ada benda yang utuh selain ponsel itu."
Nindi melempar pandangannya ke seluruh ruangan. Benar kata yunis, ruang musik sudah seperti arena perang penuh dengan barang barang yang pecah dan rusak. Bahkan ponsel yang dia pegang pun ada sedikit retak di layarnya. Mungkin terjatuh saat masih merekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Roman pour Adolescents"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...