"Lu diserang, di hadapan gue, secara langsung."
***
"Ini." Taska membanting sejumlah buku yang sudah dia ambil dari rak buku di perpustakaan yang tampaknya sedikit tidak keurus karena kemakan usia.
"Asal usul kenapa gitar ada di ruang musik, siapa yang ngasih ke kepsek, sejarah awal jurnalistik di sekolah ini, sama siapa aja Yang berjasa membangun sekolah ini."
Yunis melihat satu per satu cover buku itu, tanpa membukanya. Sementara Nindi hanya menonton dengan mata sayu.
"Ada lagi?" tanya Yunis pelan.
"Udah itu aja yang ada. Sisanya sudah hilang entah kemana dan artikelnya juga nggak ada yang penting," jawab Taska singkat.
"Hhhmm." Yunis masih melihat lihat buku itu. Total ada sekitar 10 buku yang ada di hadapannya. Cetakannya kebanyakan tahun tahun sebelum dia bersekolah disana.
"Masih ada yang dibutuhkan lagi nggak, gue lagi ada tugas, mau ngerjain di sekolah." Taska membantu Yunis menjajakan buku di meja perpustakaan.
"Oh, yaudah. Nanti kalo ada lagi paling kita lagi yang nyari lu," jawab Yunis singkat.
"Oke, gue tinggal dulu ya," pamit Taska meninggalkan mereka berdua.
"Sekarang gimana Yun?" tanya Nindi kepada Yunis.
"Sekarang? Ya kita baca bukunya satu satu," jawab Yunis singkat.
Nindi hanya melihat Yunis dengan muka datar. Dia mengambil salah satu buku yang sudah disusun oleh Yunis dan Taska.
Nindi membacanya dengan malas. Suasana perpustakaan sangat sepi. Hanya ada mereka bertiga yaitu Yunis, Nindi, dan siswa kelas 10 entah dari jurusan apa.
Cukup lama mereka membaca majalah jurnalistik itu. Cukup lama juga suasana hening yang tercipta karena kegiatan membaca yang mereka lakukan.
"Gue dapet sesuatu," kata Yunis tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka.
"Gue juga," sahut Nindi kemudian. "Mau lu apa gue duluan yang ngasih tau?"
"Gue dulu deh," usul Yunis cepat.
"Yaudah apaan?"
"Gitar yang ada di ruang musik itu merupakan peninggalan salah satu pendiri sekolah ini yang dititipkan kepada Pak Anjasmara. Karena takut rusak jika disimpan di rumahnya, Pak Anjasmara memilih untuk menyimpannya di ruang musik, dan memperbolehkan anak anak untuk memainkannya dengan syarat harus merawatnya."
"Siapa orang yang nitipin gitar itu?" tanya Nindi ketika Yunis menyelesaikan informasinya.
"Disini hanya tertulis 'Pak Mawan' sebagai panggilan akrab siswa saat itu," jawab Yunis.
"Tidak ada hubungannya dengan dengan yang kita cari," gumam Nindi pelan.
"Kalo lu apa yang lu dapetin?" Kali ini Yunis balik bertanya.
"Nggak banyak, hanya biodata Pak Anjasmara sama Pak Mawan yang tadi lu sebut," jawab Nindi singkat.
"Yakin cuma itu?" tanya Yunis ulang.
"Nggak juga sih. Disini tertulis kalo Pak Mawan sudah meninggal sekitar 7 tahun yang lalu, tepat 3 tahun setelah sekolah ini berdiri."
"Coba gue liat," pinta Yunis seraya mengambil buku itu dari Nindi.
"Disana tertulis juga penyebab kematian Pak Mawan tidak diketahui dengan jelas. Yang pasti Pak Anjasmara tepat berada di samping Pak Mawan. Pak Anjasmara sangat terpukul dengan kejadian itu, sampai sampai beliau tidak masuk sekolah sampai sebulan dan semua kerjaannya sebagai kepala sekolah diserahkan kepada wakil kepala sekolah saat itu, Pakel."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Teen Fiction"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...