"Yaudah, yang itu jangan dipikirin dulu. Ini, kamu makan aja dulu, abis itu mandi terus belajar buat pelajaran besok."
***
Nindi duduk termenung di bangku taman. Suasana tenang tanpa gangguan seorang pun bisa membuatnya sedikit melupakan masalah yang ada.
Biasanya kalau ada masalah, Nindi pasti akan duduk manis di bangku taman belakang sekolah.
Biasanya saat seperti ini, nanti Yunis akan datang membawakan lemon tea kesukaannya. Tapi untuk sekarang sepertinya lemon tea kesukaannya tidak dapat datang ke hadapannya.
"Nin, lu ngapain disini?" tanya orang dari arah belakang.
Nindi menoleh, ternyata yang memanggil namanya adalah Yunda, teman sekelasnya.
"Nggak lagi ngapa-ngapain kok," jawab Nindi singkat.
Yunda merupakan teman dekat Nindi di kelas. Yunda merupakan orang terpintar di kelas. Banyak yang mau berteman dengan Yunda, namun karena sifat introvertnya, dia hanya mau berteman dengan beberapa orang saja.
"Tapi kenapa bengong?" tanya Yunda serius.
"Cuma lagi berpikir aja," jawab Nindi singkat.
"Mau lemon tea?" Yunda menyodorkan 1 gelas lemon tea segar yang baru dibelinya di kantin.
Nindi menerima lemon tea itu. Dia hanya memegangnya sementara matanya masih menatap kosong kearah depan.
"Nindi kenapa? Sakit?" tanya Yunda lagi dengan nada khawatir.
Nindi hanya menggelengkan kepala. Sesekali dia menoleh ke arah Yunda dan tersenyum, namun setelah itu dia kembali melayangkan tatapan kosongnya.
Nindi masih memikirkan perkataan ibunya. Semua yang dikatakan ada benarnya juga. Tapi Nindi masih tidak terima dengan sikap Yunis yang suka sekali asal menuduh hanya bedasarkan feeling tanpa bukti kuat. Apalagi jika yang dituduh adalah temannya sendiri.
Yunis memang orang yang konsisten. Dia berani mengambil suatu tindakan tanpa takut resiko apa yang diterimanya. Sebenarnya hanya 1 kelemahan Yunis, dia tidak pernah percaya dengan orang lain selain dirinya sendiri.
Tingkat percaya diri Yunis sangat tinggi, hanya saja sifat pelupanya menambah daftar kelemahannya yang memang sangat fatal bila terjadi disaat saat penting.
Berbeda dengan dirinya yang sembrono, hanya bisa menerawang dengan tatapan kosong di taman belakang sekolah ketika ada masalah, sangat mudah untuk menangis, dan tidak percaya diri.
Nindi bingung. Apa yang harus dia lakukan. Jauh didalam dirinya ada yang mengatakan untuk memaafkan Yunis, sementara di sisi lainnya mengatakan itu memang kesalahan Yunis dan tunggu hingga Yunis meminta maaf.
"Nindi." Nindi tersadar dari lamunannya. Yunda menggoyangkan badannya dengan kencang hingga kepalanya pusing.
"Nindi, kalo ada masalah cerita aja," tawar Yunda.
"Iya Nin, cerita aja," sambung widya dari arah belakang.
Widya salah satu teman dekat Nindi di kelas selain Yunda. Widya orangnya supel, mudah bergaul, berisik tapi asik, nggak pernah kehabisan ide untuk memulai pembicaraan diantara teman-temannya.
Nindi hanya menggelengkan kepalanya. Dia kembali membenarkan posisi duduknya dan kembali melakukan aktivitas merenungnya.
"Udah Yun, si Nindi mah biarin aja disini, dia lagi galau tu kayaknya," ucap Widya membuka topik pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Novela Juvenil"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...