Yunis terdiam. Memandang wajah Nindi dengan ekspresi datar. "urusan keluarga?"
***
"Kemana sih Yunis ini," gerutu Nindi di depan gerbang sekolah.
Sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi dan Yunis belum juga hadir dihadapannya. Nggak biasanya Yunis datang kesiangan.
Nindi terus melemparkan pandangannya kearah jalan di depan gerbang sekolah. Dia terus mencari sosok laki-laki berbadan tinggi yang sudah dikenalnya sejak dulu itu.
Tak lama Yunis muncul dengan sepeda kebanggaannya. Saking bangganya, sepeda itu tidak pernah diganti sejak pertama kali masuk SMP.
"Abis dari mana?" tanya Nindi ketus. Raut wajahnya sedikit kesal dan mengkerut melihat Yunis yang mengkayuh sepeda dengan begitu santai.
"Sepedanya udah lama nggak dipake, jadi tadi ada perawatan dikit," dalih Yunis singkat.
"Lagian ngapain sih bawa sepeda, biasanya juga jalan kaki kan."
"Lagi pengen aja. Lagi pula, gue rasa sepeda ini bakal berguna hari ini," tambah Yunis lagi.
"Yaudah, hari ini jadi nggak ketemu Pak Anjasmara?"
"Jadi dong, tinggal sedikit lagi dan kita hanya perlu meminta penjelasan beliau soal Pak Mawan dan juga tentang kasus yang menimpanya."
Nindi pun mengangguk. Mereka pun berjalan masuk kedalam lingkungan sekolah. Mereka pun berbelok dahulu ke arah parkiran sekolah.
Puluhan deretan motor terparkir rapih. Yunis yang tak biasa datang ke parkiran, karena memang tidak pernah membawa motor hanya menaruh sepedanya di pinggiran wilayah parkir saja.
"Kenapa disitu?" tanya Nindi heran. "Malu bawa sepeda?"
"Kagak, biar cepet aja nanti kalo ada keadaan darurat," kata Yunis cepat.
Nindi hanya menaikkan bahunya. Dia tidak ingin melanjutkan percakapan yang menurutnya tidak berguna itu. Baginya itu hanya memperpanjang hal sepele.
"Berarti nanti kita ketemu lagi saat jam istirahat kan?" tanya Yunis memastikan.
"Iya, Pak Anjasmara udah bilang dia ada di sekolah sekitar jam 10," jawba Nindi cepat.
"Kalo gitu gue duluan ya, ada yang mau gue kerjain di kelas," pamit Yunis seketika sambil berlari meninggalkan Nindi.
Belum sempat Nindi mencegah Yunis pergi, Yunis sudah terlebih dahulu menghilangkan dari pandangannya.
Nindi pun berjalan sendiri, menelusuri lorong menuju kelasnya yang cukup jauh dari parkiran. Nindi termenung, hanya memperhatikan layar ponselnya sepanjang lorong sampai ada suara yang menyapanya.
"Woi." Nindi segera menoleh ke sumber suara.
"Jangan main hp sambil jalan," kata suara itu lagi.
"Iye, lagian cuma bentar doang kok," jawab Nindi ketus.
Nindi memasukkan kembali ponselnya dan fokus ke lorong yang dilewatinya tanpa mempedulikan Adit yang mulai mengimbangi langkah kakinya. Dia ingat tentang peringatan yang diberitahu Yunis. Jauhi Adit!
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Teen Fiction"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...