"Oh. Dengan begini, selesai. Kasus terpecahkan."
***
Suasana Alpha Destiny School Senin ini terasa begitu tentram. Semua sudah berjalan normal seperti sedia kala. Ya meskipun ada beberapa siswa yang melanggar peraturan sekolah, itu sudah menjadi hal yang cukup wajar.
Yunis berjalan menelusuri koridor sekolahnya menuju kantin. Sesampainya di kantin dia langsung mengarah ke jalan kecil disebelah kantin yang mengarah langsung ke taman belakang sekolah.
Tangannya sudah memegang 2 gelas lemon tea yang tadi sudah dia beli sebelumnya. Dia berjalan menuju tengah taman, menghampiri sosok yang sudah menunggunya dari tadi.
"Udah nunggu lama?" tanya Yunis begitu sampai.
"Nggak juga. Gue juga baru nyampe," sahut perempuan yang duduk di bangku taman.
"Gimana keadaan lu? Masih sakit?" tanya Yunis lagi.
"Nggak juga. Cuma sedikit sakit aja di bagian pundak kalo gue angkat tangan," jawab perempuan itu.
"Harusnya lu nggak perlu ngelakuin itu Nin." Yunis mengambil posisi duduk di sebelah Nindi. "Harus Yun. Lu yang sangat mendambakan kasus ini, karena itu harus lu yang menyelesaikan kasus ini. Makanya waktu itu gue berdiri di depan lu."
Yunis menatap lawan bicaranya iba. Nindi benar, mungkin jika waktu itu tidak ada yang menghadang datangnya pisau, dia pasti akan berada di posisi Nindi dan tidak bisa menyelesaikan kasusnya. Mungkin tertunda sampai kondisinya pulih kembali.
Yunis menyerahkan segelas lemon tea kepada Nindi, kemudian diterima dengan senang hati oleh Nindi. "Lu tau aja kesukaan gue."
Yunis hanya tersenyum kecil. "Oiya, Pak Anjasmara manggil kita buat ke ruangannya. Lu mau kesana kapan?"
"Sekarang?" tanya Nindi dengan raut wajah aneh karena hampir tersedak.
"Terserah sih. Kalo mau sekarang, ayo."
***
"
Permisi Pak," kata mereka berdua serentak saat memasuki ruangan kepala sekolah.
"Oh kalian. Masuk masuk, silahkan duduk," sambut Pak Anjasmara.
"Begini, Bapak sebenarnya manggil hanya sekedar ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, terutama kepada kamu Yunis. Makasih sudah mau memecahkan masalah ini," ucap Pak Anjasmara langsung.
"Sama sama Pak, saya juga senang bisa memecahkan kasus ini. Saya belajar banyak dari ini Pak," balas Yunis dengan senyum kecilnya.
"Nindi, bagaimana keadaan kamu?" tanya Pak Anjasmara kepada Nindi.
"Baik Pak, cuma sakit sedikit aja. Makasih Pak sudah membiayai pengobatan saya selama seminggu," jawab Nindi yang juga tersenyum.
"Tidak apa apa, anggap aja itu tanda terima kasih saya kepada kamu sudah membantu menyelesaikan kasus ini," balas Pak Anjasmara. "Gimana kabar Adit?"
"Baik Pak. Tapi sepertinya dia mulai menjaga jarak sama saya."
Pak Anjasmara mengangguk diam. "Nindi, Bapak minta tolong maafin semua kesalahan Adit ke kamu ya. Bapak atas nama almarhum bapaknya meminta maaf atas apa yang di perbuat Adit kepada kamu."
"Iya pak, sudah saya maafkan," jawab Nindi ikhlas.
"Bapak sudah berjanji kepada ibunda dari Adit untuk merahasiakan yang terjadi kepada Adit, sebelumnya juga bapak sudah membicarakannya kepada Yunis saat kamu di rumah sakit dan Yunis setuju untuk merahasiakannya. Kamu mau kan ikut merahasiakan hal ini? Ini demi nama baik Pak Mawan dan juga nama baik Adit, lagi pula kasus ini juga dari awal sudah dirahasiakan."
"Iya Pak, akan saya rahasiakan," jawab Nindi singkat.
Pak Anjasmara tersenyum lega mendengar jawaban Nindi. Suatu perasaan senang timbul dalam raut wajahnya yang sudah berumur itu.
"Ada lagi Pak yang ingin dibahas?" tanya Yunis begitu suasana ruangan mulai hening.
"Ada satu lagi dan ini kabar bahagia, terutama untuk kamu nindi."
"Saya?" tanya Nindi terkejut.
"Iya, untuk kamu." Pak Anjasmara berdiri sambil mengambil secarik kertas dari dalam laci meja kerjanya.
"Ini ada formulir pendaftaran untuk mengikuti kejuaraan matematika tingkat nasional di Semarang. Kamu udah lama kan ingin mengikuti lomba matematika?"
Nindi melihat surat yang diberikan Pak Anjasmara dengan tatapan tak percaya. Itu memang formulir yang selama ini di tunggu-tunggu olehnya.
"Ini beneran diberikan kepada saya Pak?" tanya Nindi tak percaya.
"Iya, khusus buat kamu," jawab Pak Anjasmara.
"Makasih Pak, makasih banyak. Saya akan mengembalikan formulir ini secepatnya," kata Nindi senang. Raut wajahnya terukir sangat bahagia melihat surat yang kini sudah berada di genggamannya.
"Yunis," panggil Pak Anjasmara. "Maaf Bapak tidak bisa memberikan kamu sesuatu."
"Tidak apa apa pak, bagi saya menyelesaikan kasus seperti ini sudah menjadi hadiah tersendiri bagi saya," jawab Yunis halus.
Pak Anjasmara tersenyum mendengar jawaban bijak dari salah satu murid kebanggaannya ini. "Baiklah, kalian sudah boleh kembali ke kelas kalian masing-masing, dan Nindi ..." panggil Pak Anjasmara terpotong.
"Ya Pak?"
"Jangan lupa isi formulirnya."
"Siap pak."
***
Huraaa, sudah kelar ya.
Akhirnya selesai juga. Makasih semuanya sudah menemani selama 6 bulan. Nggak kerasa loh akhirnya sudah sampai di epilog.
Aku minta maaf ya bila ada kesalahan kata, atau ada kata kata yang kurang berkenan, aku hanya manusia biasa yang terkadang tidak dapat mengontrol kata kata yang dikeluarkan, jadi mohon maaf.
Sampai disini dulu ya. Jangan lupa mampir ke akunku ya di FuseWalker, kutunggu kalian disana dengan cerita ceritaku selanjutnya.
Sampai jumpa lagi semuanya.
See you next story, bye bye.
![](https://img.wattpad.com/cover/198684278-288-k63464.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Teen Fiction"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...