Yunis sedari tadi tadi hanya bisa mengamati, tanpa berkomentar apapun. Dahinya semakin mengkerut saat dia makin keras berpikir.
"Surat macam apa ini?"
Suasana ruang kepala sekolah sedikit berisik karena semua siswa yang hadir mulai berbisik membicarakan surat yang aneh tersebut.
Yunis dan Nindi hanya terdiam setelah mendapat surat aneh itu. Mereka hanya bertatapan sebentar saling menanyakan maksud surat itu dengan bahasa isyarat.
"Baiklah, karena kalian sudah melihat Suratnya, kalian dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan ini," kata Pak Anjasmara membuat suasana hening seketika.
"Jika ada diantara kalian yang temannya menulis surat ini, harap segera melapor ke saya atau dia sendiri yang mengakuinya, sebelum sekolah mengambil tindakan," sambung Pak Anjasmara.
Semua murid perlahan meninggalkan ruang kepala sekolah, kecuali Nindi dan Yunis.
"Kalian kenapa tidak keluar?" tanya Pak Anjasmara melihat ke arah mereka.
"Maaf pak. Bukannya lancang, tapi bolehkah saya memeriksa seluk beluk ruangan ini sebelum bel masuk berbunyi pak?" tanya Yunis.
"Atas dasar apa kamu mau memeriksa ruangan saya?" tanya Pak Anjasmara dengan tatapan wibawanya.
"Karena saya yakin bisa memecahkan kasus ini pak," jawab Yunis yakin.
"Oh jadi sekarang mau main detektif detektif-an," kata Pak Anjasmara sambil mendekatkan badannya dengan meja. "Lalu kamu ngapain disini?"
Nindi yang merasa namanya terpanggil segera menghadap ke Pak Anjasmara. "Begini pak, saya minta izin memeriksa surat aneh yang asli pak."
"Jadi, kamu juga mau main jadi detektif," ucap Pak Anjasmara sambil menyeringai kecil.
"Kalian melakukan ini pasti ada suatu alasan," kata Pak Anjasmara sembari membuka ponselnya, "dirumah kalian biasanya baca buku apa?"
"Maksudnya pak?" tanya Yunis dan Nindi bersamaan.
Pak Anjasmara yang sedang memeriksa beberapa data file di ponselnya melirik ke arah mereka berdua.
"Kalian biasanya baca buku karangan siapa?" sambung Pak Anjasmara singkat.
"Ooohhh," kata Nindi sambil tersenyum malu karena baru mengetahui maksud pertanyaan kepala sekolah. Sementara Yunis berpikir keras mengingat nama penulis buku bacaannya.
"Anu pak, Conan Doyle," jawab Nindi dan Yunis singkat.
Pak Anjasmara terkejut. Bukan terkejut dengan jawaban dua anak dihadapannya, melainkan terkejut karena melihat betapa seringnya nama Yunis dan Nindi tertulis dalam dokumen sekolah.
Terutama Nindi yang selalu mengajukan diri mengikuti lomba matematika tingkat apapun namun tidak pernah masuk 3 besar. Mentok mentok masuk peringkat 4.
Sementara Yunis adalah siswa yang rutin mendapat beasiswa di Alpha Destiny School setiap semesternya. Jadi wajar jika namanya sering muncul di dokumen sekolah.
"Tadi siapa nama penulisnya?" tanya Pak Anjasmara ulang.
"Conan Doyle pak."
"Hhhmm ... Lumayan juga," gumam Pak Anjasmara pelan.
"Memangnya ada apa Pak?" tanya Nindi sambil memandang keheranan.
"Saya tidak akan memberikan kepercayaan kepada sembarangan orang, apalagi untuk masalah seperti ini," jawab Pak Anjasmara.
![](https://img.wattpad.com/cover/198684278-288-k63464.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
One Dream, One Destiny
Teen Fiction"Jika tidak dimulai dari langkah kecil, bagaimana cara mengambil langkah besar?". -Nindi- "Semua butuh waktu dan usaha yang tepat. Jangan terburu buru dan nikmati proses yang ada." -Yunis- Sesuatu mengancam keberadaan sekolah mereka...