Kepedihan

17 4 0
                                    

Hari berganti hari

Musim berganti musim
Tahun berganti tahun
Perasaan lelaki itu belum bisa berubah
Kebencian memakan jiwanya
Sorot mata yang hangat
Kini berubah menjadi bara api yang menyakitkan

*~Khayra Ar-Arfan~*

Khayra Ar-Arfan. Gadis ceria yang amat pintar di kalangan mahasiswa dan mahasiswi di kampusnya. Usianya baru menginjak 23 tahun tapi sekarang dia telah mengambil S2 di bidang Sains. Baginya Sains adalah sebuah keajaiban yang menyebabkan kehidupan ini ada.

"Sains itu indah" batinya.

Khayra memang pintar. Terbukti studinya selama ini di biayakan oleh pemerintah. Khayra mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi. Terbukti beberapa artikel yang di publish pasti akan menjadi pembicaraan nasional. Terlebih lagi jika menyangkut tentang bidang ilmu ekosistem. Semua berawal dari kehidupan.

Selain menjadi mahasiswi S2, Khayra juga menjadi dosen untuk mahasiswa S1. Khayra membiayai hidupnya sendiri. Ia tak pernah meminta uang saku kepada ayah maupun kakaknya.

"Assalamualaikum."

"wa'alaikumsalam" jawab mahasiswa serentak.

"baiklah, semuanya. Hari ini kita bahas tentang lanjutan di minggu lalu ya"

Kelas yang diajarkan Khayra dimulai. Khayra tak pernah lupa untuk memulai dengan basmallah.

*******

"Kelas selesai dan perut mulai keroncongan" batin khayra bercakap.

Khayra menyusuri taman kampus menuju ke kantin. Ia tak sadar jika sepasang mata tengah mengintai dirinya dari kejauhan. Benar saja, Khayra langsung melirik kearah mata yang memantaunya. Tapi nihil tak ada. Langsung Khayra lari secepat mungkin ke kantin. Taman yang dilewatinya memang sepi tapi bukan berarti berhantu.

Kini khayra telah ada di dalam ruangan dosen. Duduk di mejanya sambil menikmati segelas teh dan roti lapis. Ketika Khaira tengah sibuk dengan laptop dan makanannya seketika muncul dua bayangan dari belakangnya yang sontak membuat Khayra membalikkan tubuhnya.

"Pak Agus, Saya kira siapa" sapanya kepada kepala jurusannya.

"Mbak Khai kenalkan, ini Mas . Beliau dosen baru disini"

Khayra tampak kaget dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Pak Agus.

"Namanya seperti tak asing bagiku" batinnya.

Raditnya menyodorkan tangannya untuk menyalami Khayra. Khayra menanggapinya dengan meletakkan kedua tangannya membentuk salam di dada tanda ia menerima salam Raditnya.

Raditnya tersenyum tipis hingga menampakkan lesung pipinya yang membuat Khayra seketika merona di wajahnya.

"Astagfirullah... sadar khay. Bukan mahrammu" batinnya lagi.

*******

Senja berganti malam. Khayra sampai di rumah tepat sebelum adzan maghrib tiba. Ia melaksanakan shalat maghrib di kamarnya setalah itu, tak lupa ia membaca Al-Quran kitab sucinya.

Tak lama kemudian Khayra berlari menuju ke dapur di lantai 1. Rumah Rama memang besar dan luas. Wajar saja, karena Rama adalah pengusaha sukses di Asia tenggara.

"Bi Tuti, papa sudah pulang ya?" tanya Khayra pada kepala pelayan di rumahnya.

"Alhamdulillah sudah non, tadi di jemput sama nyonya dan 2 anak gadisnya"

Tears Of KhayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang