Cinta memang semanis madu
Bahkan melebihi madu manisnya
Cinta tak harus memiliki
Tak harus memiliki berarti ikhlas
Ikhlas kata yang sulit untuk di lakukan
Kebencian dapat mengalahkan Ikhlas
Tapi kebencian tak dapat menghapus ikatan
Itulah kebencian dan cinta
Dua hal yang bertolak belakang
Tapi tetap saja dilakukan*~Rama Ar-Arfan~*
Semilir angin sejuk meresap telapak kaki. Suara ayam berkokok kini telah sampai di telinga. Ku buka mataku untuk kesekian kalinya. Kantuk memang musuh terbesar manusia di sepertiga malam. Tapi niat dan cintaku kepada ilahi membuatku tetap bersemangat untuk terus melawan kantuk. Tak butuh waktu lama, tubuh ini bergegas bangkit dan menuju ke tolilet untuk mengambil wudhu. Kutunaikan shalat tahajudku dan membaca beberapa lembar ayat suci yang Allah turunkan kepada wahyunya. Ketika tengah hanyut diriku membaca kalam Allah, terdengar teriakan dari luar.
"Pasti mama yang memanggilku" sahut batinku seketika.
Kulepas mukenah yang bertenggar di tubuhku dan mengantinya dengan hijab panjang untuk menutupi mahkotaku. Berlari keluar ruangan menuju asal suara yang berdenting.
Terlihat dari kejauhan mama bertolak pinggang sambil menatapku tajam.
"Lama ya kamu! Lihat tuh udah jam 4" sambil menunjuk jam dinding didepannya.
"Maaf ma, tadi Khayra shalat tahajud dulu" jawabku pelan.
"Mulai deh, alasan. Udah cepat sana bantu bibi" tunjuknya.
Tak butuh lama, aku langsung berlari membantu Bi Tuti memasak untuk sarapan pagi. Bi Tuti merupakan kepala pelayan yang ada di keluarga ini. Sedangkan aku, aku adalah anak dari tuan rumah ini. "Tapi mengapa mama sangat kasar kepadaku?", batinku sudah pasti bertanya dan sekaligus menajawab pertanyaan itu dengan cepat. "Itu karena aku anak tirinya. anak dari istri suaminya terdahulu".
Kegiatan dapur terus berjalan. Bi Tuti dibantu mbak Juli dan mbak Pinem Memasak beberapa menu makanan untuk sarapan pagi keluarga Arfan.
"non, ndak usah dibantu atuh. Non duduk di meja saja" kata Bi Tuti sambil memegang tangan kananku.
"gak pa-pa bi, saya bantu saja. Nanti takut dimarahi mama."
"yaudah non, tapi non yang atur di meja saja yo!".
"Ok bi". Jawabku sambil menunjukkan jempol kepada Bi Tuti dan disahuti tawa oleh dua lainnya yaitu mbak Juli dan mbak Pinem.
Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Suara gendangan jam hias berbunyi waktu untuk menandakan setiap anggota keluarga berkumpul dan sarapan bersama di ruang makan.
Terlihat dengan gagahnya ketiga pangeran turun dari tangga sambil memegang beberapa berkas. Mereka ialah kakak pertamaku Askar Ar-Arfan, kakak keduaku Hayaze Ar-Arfan, dan kakak ketigaku Zaidan Ar-Arfan.
Kedatangan mereka membuat antusias mbak juli dan mbak pinem yang Masih gadis. Mereka seperti melihat pangeran arab turun dari kayangan. Memang benar, papa ku adalah keturunan Arab sedangkan bundaku adalah keturunan Pakistan. Sehingga keluarga kami kental akan budaya ke-timuran.
"hmm.. kamu udah bangun?" tanya Mas Askar ketika melihatku sedang kakakku yang lain Masih berkutat dengan file dokumen yang berada di tangannya.
"udah Mas, sambil belajar Masak juga sama bibi dan yang lainnya."
"nah, gitu dong. Anak gadis harus rajin, jangan kayak tiga bebek betina lainnya yang Masih bobok" jawab Mas Zaidan.
"Ssstt.. nanti kedengaran sama dia, abis lo Dan!" sahut Askar sambil menutup mulut Zaidan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears Of Khayra
SpiritualKhayra Ar-Arfan. Seorang gadis yang memiliki paras cantik dan cerdas memiliki kehidupan yang amat rumit. Hari-harinya selalu diliputi oleh kesedihan yang menyakitkan. Penghalang kehidupan ialah sebuah ujian yang harus di hadapinya. Terlebih Ayah kan...