"Ummi, biarkan aku memilih jalanku," ucapku pada ummi, baru saja ummiku hendak menjelaskan, tiba tiba pintu kamarku ini terbuka. Terlihat abi telah siap dengan jas serta kemeja nya.
"Tifah, yuk ikut abi!" Ujar abi dengan wajah lelahnya. Eh, tapi ini aneh, ngapain Abi jam segini masih di rumah? Aku terus mengekori Abi yang berjalan di depanku
"Tifah, lihat deh!" ucap abi saat kami berada di depan pintu yang tidak pernah ku buka sama sekali. Abi membuka pintu itu, ruangan ini terlihat seperti gudang. Gelap dan sesak.
"Tifah, ini barang abi, abi menyimpannya sejak kecil, mulai dari baju kelulusan sd, sampai Ma," ucap abi seraya memasuki ruangan ini, dia menunjukan seragam smp nya.
Baju putih itu, nyaris tak terlihat warna putihnya, yang terlihat hanya warna warni dari cat, terbayang seperti apa abi dulu. Lalu, abi menunjukan baju SMA nya, ku kira masa SMA abi itu sangat bebas. Tapi aku salah, abi sekolah di MA.
Abi menunjukan semuanya, aku baru tahu, masa lalu abi itu-- tidak ada kata yang terlintas di pikiranku untuk mendeskripsikannya. Astaghfirullah! Ini Abi, loh.
Tapi, abi meluruskan hatinya, di Madrasah Aliyah, dan bertemu Umi di sana, itulah yang abi ceritakan. Tapi, aku bukan preman, aku tidak usah masuk Madrasah dong?
Kitapun beranjak pergi dari sana, dan abi mengajak ku ngobrol di halaman belakang.
"Tapi abi, aku bukan cewe begajulan yang perlu dibenahi habis habisan, aku mengenal Allah, aku mengenal islam, bahkan aku kan berjilbab, Abi," ucapku pada abi yang tengah duduk di sampingku.
"Tifah, Madrasah Aliyah itu, bukan tempat anak begajulan, tapi itu tempat orang orang shaleh dan shalehah," ucap abi membujuk, sekeras apapun ku menolak, pada akhirnya aku akan masuk Madrasah Aliyah, aku tahu itu.
"Oke, aku turuti apa kemauan ummi dan abi," ucapku datar pada abi.
"Tifah, ingatlah, jadikan Allah sebagai tujuan hidupmu," ucap abi, dan berlalu pergi.
Akupun masuk kembali. Di dalam terlihat ummi sedang makan disuapi bu Sudja. Ummi ku menderita stroke, otak kirinya terganggu, jadi tubuh bagian kanannya tidak bekerja. Alhamdulillah kondisi ummi berangsur membaik, kata dokter sekitar dua bulan lagi, ummi bisa tidak menggunakan kursi roda.
"Besok abi daftarkan kamu ke Nurul Fikr," ucap abi dari tangga, ternyata abi hanya mengganti pakaiannya, dan bersiap pergi kembali.
Akupun beranjak menuju kamarku. Setibanya di sana, aku langsung menjatuhkan diriku ke kasur. Langit senja mulai nampak, hari hampir maghrib, lebih baik aku bersiap untuk shalat.
***
"Thifah oi!" teriak seseorang dari luar sana, siapa yang malam malam begini teriak teriak sih? Akupun menaruh ponselku di atas kasur, dan berjalan menuju balkon.
Saat aku berada di balkon kamarku, aku hampir saja terkena lemparan krikil, untung saja aku cepat menghindar.
"Kak Faiz! Jangan lempar-lempar batu! Kalo batunya nyium jidat Tifah gimana?! Jidatku gak suci lagi ntar! Ish!" Teriakku dari atas dengan gemas, dasar kak Faiz. Ga pernah berubah. Ganggu.
"Gue mau masuk!" Teriaknya lagi.
"Kakakku tersayang, TINGGAL MASUK SUSAH AMAT!" Teriakku tak kalah kencang.
"Kalo gue ga kekunci di luar, gue udah masuk dari tadi, pinter," ucap kak Faiz menyindir, dia memang hobi sekali menyindir.
Aku pun bergegas turun dan membuka pintu, ternyata memang benar, pintu dikunci.
"Makannya, bawa kunci cadangan, bisanya ngerepotin orang!" Ucapku seraya kembali ke atas.
Jika aku di boarding school nanti, aku ga mungkin ngebukain pintu buat kak Faiz yang kekunci.
Tbc
D-9 tapi publish cerita gini;-; semoga UN lancar aamiin o:) cerita ini gak akan panjang panjang sih._.