8. Tranfusi.

8.4K 613 8
                                    

"Ibu, ini suratnya, saya izin untuk hari ini," ucapku pada ibu piket yang langsung membuka amplopnya.

"Ia, cepat sembuh ya," ucapnya seraya menandatangan surat itu.

"Assalamu'alaikum bu," ucapku, seraya keluar, dan bu piket pun langsung menjawab salamku.

Ternyata kak Faiz sudah menunggu di parkiran, akupun berlari dan langsung masuk ke mobilnya.

"Assalamu'alaikum kak!" Salamku, pada kak Faiz yang tidak sadar keberadaanku.

"Wa'alaikumsalam, Thifah, kapan ke sininya? Horror amat." Ucap Kak Faiz dan langsung menjalankan mobilnya.

Diperjalanan ga ada yang memecah keheningan. Kalo lagi berkendara jangan ngobrol, itu kata Ayah.

Akhirnya kita sampai di rumah sakit, dan kita langsung mendaftar untuk konsultasi. Alhasil aku harus menunggu.

"Kak, lama banget sih," keluhku pada kak Faiz. Kak Faiz hanya menyodorkan batol air mineral.

"Minum, dari pagi belum minumkan?" Ucapnya, tetap duduk di ruang tunggu, di sampingku, tapi tidak melihat ke arah ku. Kebiasaan deh.

"Kak, mama tau?" Tanyaku, dan kak Faiz ngangguk.

"Lathifah Khairunnisa Azzahra, ruang 9."  Ucap seseorang dalam speaker, dan kita langsung menuju ruang dokter untuk konsultasi.

"Halo Thifah," sapa dokter itu saat aku memasuki ruangan konsultasi ini.

"Halo dok," ucapku, seraya duduk di depan dokter itu.

"Kenapa baru datang lagi?" Tanya dokter, lah? Emang tiga bulan sekali kan?

"Tiga bulan sekali kan dok?" Tanyaku memastikan. Dan dokter Reza pun hanya tertawa dan menuliskan rujukan untuk ke laboratorium.

"Saya bercanda Tif, nih rujukannya, bulan depan ke sini lagi ya, cek keadaan sum sum tulang belakang kamu," ucap dokter Reza dan aku cemberut.

"Dokter, minta surat rujukan dong buat ke sekolah," mohonku dan dokter Reza membuatkan surat rujukannya.

"Tunggu reaksi badanmu dulu ya Thifah, tunggulah setidaknya beberapa jam," ucap perawat itu. Dan aku mengangguk. Fyi aja, golongan darah aku tuh gak muluk muluk, jadi gak perlu susah payah nyari golongan darah yang sesuai.

"Bang Kahfi gimana, kak?" Tanyaku pada kak Faiz dan dia tampak berpikir.

"Dia masih sama," ucap kak Faiz, tanpa sadar, ia meneteskan air mata. Maafin aku kak. Bang Kahfi terlalu spesial buat kak Faiz, dulu mereka sangat dekat. Saat Bang Kahfi gagal dalam Kuliahnya, dia depresi. Bang Kahfi bukan sosok yang mudah bergaul.

"Bang Kahfi, gue kangen sama dia Tif, gue kangen sama kakak gue, gue kangen saat dia tertawa, saat bersama kita." Ucapnya seraya menghapus air matanya.

"Kak, aku mau cerita nih, dengerin ya," ucapku dan kak Faiz mengangguk. Akupun bangkit dan terduduk.

"Di Nurl fikr, ada cowo kak, dia subhanallah, ngomongnya kalem, kata temenku dia selalu bawa alqur'an kemana mana, aku kagum deh kak sama dia," ucapku seraya tersenyum, aku hanya ingin mengalihkan topik.

"Wahh, ini adik gue puber," goda kak Faiz dan menjawil pipiku.

"Ih kak! Aku ga suka sama dia!" Bantahku. Duh salah topik kan.

"Kakak bilang kamu suka sama dia ga?" Ucapnya dan aku menggelengkan kepala. Tuhkan salah ngomong.

"Eh, oh ia kak! Masa aku dikasih surat gitu, isi nya geli banget, hahaha," dan hari itu kita bertukar cerita.

"Darimana Tif?" Tanya Tara setelah mereka menjawab salamku, ini masih Ashar kok, belum terlalu sore.

"Kenapa emang?" Ucapku balik bertanya.

"Lo ngilang dari pagi, dan baru muncul sore," ucapnya dan aku melangkah menuju meja belajar.

"Betul!" Ucap Bintang, aku melirik Nissa yang sedang mengerjakan tugasnya. Ha! Itu dia!

"Tadi ada tugas ga?" Tanya ku dan Bintang mengangguk, dia paling mudah dialihkan.

"Banyak loh Tif, lo belum ketemu guru sejarah? Tarra aja dimarahin," ucapnya meledek Tarra, aku berusaha tertawa.

"Asragfirullah, itu bukan salah gue, tapi salah pacarmu, Bi." Ucap Tara seraya melempar bantal kearah Bintang. Akhirnya mereka lupa soal aku yang menghilang. Baguslah.

"Gak ada tuh istilah 'pacar' dalam islam," elak Bintang Tarra melempar bantal yang tadi sempat dilempar oleh Bintang.

"Kalo calon jodoh kan ada Bi," ucap Tarra dan Bintang memonyongkan bibirnya.

"Calon jodoh apaan, yang ada noh Fikri yang diem diem liatin lo di kelas Tar," ucap Bintang, dan tanpa diduga duga, pipi Tarra memerah, dan aku otomatis menahan tawa.

"Kalo ketawa, ketawa aja kali Tif," ucap Tarra yang malah melempar bantal ke arahku. Lah? Kok aku yang dilempar?

Tbc

Ini apa?

Fyi, cerita ini udah selesai dari kemaren kemaren yeay! (Gak penting) dan fyi juga ini cerita agak pendek alias agak nggak panjang (Lha? Bedanya?)

Cerita ini hanya fiksi belaka, jika terdapat kesamaan tempat, nama, atau kejadian, itu hanya kebetulan semata (fyi aja, ini gak penting)

Wassalamu'alikum wr wb

Boarding School [Editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang