14. its Called Family

7.6K 552 10
                                    

"Tif, lo kenapa deh? Tumbenan dateng dateng nangis gitu," ucap Tarra setelah aku membalas chat dari Gilang. Aku pun menyimpan buku yang dari tadi aku genggam di atas meja belajar.

"Buku ini milik perpustakaan," ucap Nissa yang membaca halaman satu. Dan dia membuka halaman demi halaman. Mungkin saat melihat tanda tanganku atau melihat tulisan tentang Ilham, dia langsung menunjukan ekspresi heran.

"Aku bakal beli buku itu berapapun harganya," ucapku di tengah isakkan.

"Cerita Tif, biar lo tenang," ucap Bintang mengusap bahuku.

"Itu buku punya aku," ucapku masih terisak.

"Terus?" tanya Tarra.

"Ya gak terus terus," ucapku lalu beristirahat. Aku pusing deh. Nangis mulu. Cengeng banget.

"Tif, bangun, adzan ashar," suara Tarra membangunkanku. Aku langsung ke kamar mandi untuk cuci muka, aku akan wudhu di sana aja. Aku pun mengganti seragamku menjadi baju biasa.

Kepalaku pusing banget dari bangun tidur, gatau kenapa lutut aku kaya gak ada di tempat. Alhasil aku jalan kaya orang pincang. Tapi aku gak selebay yang harus pake tongkat.

"Kenapa Tif?" tanya Bintang, dan aku menggeleng.

Setibanya di mesjid, aku langsung ke tempat wudhu. Dari mulai mencuci tangan, kumur kumur dan membasuh hidung, membasuh wajah, tangan sampai siku, mengusap kepala dan telinga, saat aku mencuci kaki, keseimbanganku tidak stabil.

Aku terpeleset, dan gelap.

"Mas Faiz!" teriakku pada kak Faiz yang membuatnya kesal. Aku senang membuatnya kesal. Hihii.

"Jangan panggil gue Mas! Gue bukan Mas Baso!" teriaknya dan mengejarku ke bawah, tapi sepertinya aku terpeleset.

"Abi, itu Bang Kahfi nakal sama aku," ucapku dan terus menangis, entahlah tapi Bang Kahfi dan Kak Faiz terus tertawa. Aku memang tak bisa mengucapkan 'R'.

"Siapa yang gangguin anak abi?" ucap abi dan jongkok menyamakan dengan tinggi badanku.

"Masa Bang Kahfi bilang, aku anak tetangga gala gala gak bisa ngomong l," ucapku mengadu pada abi di tengah tangisanku.

"Itu kamu bisa ngomong l," ucap abi yang menghapus air mataku dan membuatku berhenti menangis.

"Maksud Tifah bukan itu, abi," ucapku dan cemberut. Ummi pun muncul dari dapur dan tiba tiba menggendongku, yang membuatku tertawa. Aku senang jika ummi menggendongku, aku merasakan ummi akan menjagaku selamanya.

"Siapa yang berani ledekin kamu?" Ucap ummi dan aku menunjuk tiga orang yang berada di depan ummi.

"Kok abinya di bawa bawa?" protes abi dan aku tertawa karena melihat wajah abi yang ngambek gitu, lucu.

Tiit... Tiiit... Tiit... Tiiit...

Itu yang kudengar, aku tak tahu aku di mana, sedang apa, tapi aku mendengar.

"Orang tuanya mana ya?" terdengar tanya seorang wanita.

"Saya gatau, tidak bisa dihubung," ucap seorang wanita yang berbeda.
"Kerabat dekat?"

"Saya hanya tahu nomor orang tuanya saja,"

Kak Faiz, tolong aku.

"Tif, ini gue Nissa," ucapnya menggenggam tanganku erat. Aku tak tahu, hanya merasakan saja.

"Maaf, gue lancang buka hp lo, gue nyari no kakak lo, karena gue tau, kakak lo yang bisa nolongin lo,"

"Kemarin, kakak lo bilang, bakalan ke sini sekarang, mungkin dia lagi di jalan,"

"Tenang, ada gue, please bangun,"

Aku pun berusaha membuka mata, setidaknya menggerakkan tangan. Yes! Aku berhasil.

"Tifah?" ucapnya terkaget, aku di... dimana ya?

"Ini di mana?" tanyaku. Oh ia rumah sakit, jadi mendadak lupa rumah sakit gimana bentuknya.

"Rumah sakit, Tif," ucapnya seraya memencet bel.

Kak Faiz bakal dateng.

Aku pasti aman.

Tak lama ada wanita berjas putih tengah berlari kearahku mungkin dokter, bersama dua orang berseragam biru, mungkin perawat.

"Bagaimana keadaanya?" tanya dokter itu.

"Kadar oksigen normal, tekanan darah membaik, sepertinya kehilangan darah." Ucap suster itu dan melepaskan alat alat yang melekat di tubuhku.

"Kemarin kan udah tranfusi untuk darahnya yang hilang?" tanya dokter itu.

Ummi sama abi gak ke sini?

Apa aku harus mati? Biar mereka tangisin aku? Merhatiin aku? Mengantarku? Menggendongku?

Rasa sakit batin ku, mengalahkan rasa sakit fisikku.

"Dok, keluarga pasien telah tiba," ucap perawat yang tiba tiba masuk. Dan dokter itu pergi, menemui keluargaku.

Mungkin aku salah, buktinya ummi dan abi datang ke sini. Seneng banget deh rasanya.

Tak lama, dokter tadi kembali, bersama ab- kak Faiz.

"Lo kenapa?" tanya kak Faiz, dan Nissa keluar, karena di suruh dokternya.

"Abi sama ummi dateng?" tanyaku dan kak Faiz mengangguk.

"Tifah, udah ga pusing? Apa benar Tifah mengidap Thalasemia?" tanya dokter itu dan aku mengangguk.

"Siapkan ruang tranfusi!" ucap dokter itu kepada perawat, dan perawat itu langsung pergi. Dokter itupun menarik kursi dan duduk di samping kak Faiz dan menggenggam tanganku.

"Tif tau ga? Kamu ngingetin kakak pada temen magang dulu," ucapnya dan aku tersenyum, sepertinya dia mencoba membuatku nyaman.

"Aku gatau kenapa, mungkin dia ga nyaman kalo aku deket deket sama dia, dia selalu ngehindar," ucapnya, kebangetan banget, ada yang mau deketin, malah dijauhin.

"Loh? Kenapa ya dia jauhin kakak? Kakak itu dokter, cantik pula," ucapku dan dokter yang bernama Reta itu langsung tertawa.

"Dia ga ketauan kabarnya sampe sekarang, dia emang orangnya pemalu, tapi dia cocok banget kalo pake jas putih. Born to be doctor." Ucapnya membuat kami tertawa.

"Kakak ada ada aja deh," ucapku di sela tawa.

"Bentar ya Tif, kakak ke luar dulu," ucapnya dan pergi menyisakan aku dan kak Faiz.

"Aku kenapa di sini?" tanyaku pada kak Faiz.

"Kata temen lo, kemaren lusa lo kepeleset dan pingsan, lo kehilangan banyak darah, gue khawatir," ucapnya mengikat mataku. Di mata kak Faiz tercetak jelas bahwa dia khawatir.

"Jangan bikin gue khawatir ya?" ucapnya dan aku mengangguk.

Ye-ay maafkan typo nya yha :3

Thankss for RVC :)

Wassalamu'alaukum wr wb

Boarding School [Editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang