Untung saja aku telah menyelesaikan tugas seminggu kemarin, aku tinggal mengumpulkannya, dan ulangan harian susulan. Enggak masuk satu minggu, berasa gak masuk satu tahun.
"Tifah, lo kemana aja satu minggu?" tanya Hanan setelah aku duduk tepat di sampingnya, aku melipat tongkatku dan menyimpannya di laci meja.
"Kalo diceritain, kelarnya taun depan Han," ucapku dan Hanan tertawa. Dia tak mengungkit lagi.
"Zam, pucet amat, gue anterin ke UKS ga?" aku bukan nguping loh, tapi suara Gilang kedengeran sampe sini, tapi aku menajamkan telingaku agar lebih jelas.
"Lo suka lebay," ucap Azam dan percakapan mereka berakhir. Aku jadi kepo.
★
*KRINGG!!*
Bel keluar pun berbunyi, aku segera menemui Bu Jenna untuk ulangan susulan, setelahnya aku akan menemui Pak Khair untuk ulangan susulan juga.
"Tifah!" Seperti suara Azam memanggilku, tapi ada apa dia memanggilku?
"Ada apa akhi?" Tanyaku dan dia mulai menjaga jaraknya denganku. Azam memang paling bisa deh menghargai akhwat. Jadi kag- eh apa sih, semua ikhwan itu memang harus menghargai akhwat.
"Satu minggu ga masuk, terus kaki nya kenapa?" Tanya Azam, jujur aku tidak menangkap ucapannya, ga nyambung. Tapi intinya dia menanyakan kaki ku.
"Kaki saya gapapa akhi, trimakasih telah bertanya," ucapku. Tunggu deh kenapa gaya bicaraku menjadi formal gini?
"Alhamadulillah," ucapnya dan pergi keluar kelas. Aku masih berada di samping mejaku, semoga pembicaraan kami tidak terlalu keras.
"Han, aku duluan ya, Assalamu'alaikum," pamitku dan Hanan mengangguk, dan menjawab salamku. Dia mungkin aneh dengan gaya berbicaraku pada Azam, tapi perkataan ustdzah Qanita kemarin sangat menempel di otakku.
"Lo berubah Fah," suatu suara bervolume rendah membuatku berhenti melangkah sejenak, dan melanjutkan langkahku kembali. Itu Gilang.
"Berhenti Ukhti!" Teriak Gilang, mau dia apa sih? Akukan mau ulangan susulan.
"Apa?" Tanyaku sarkastik. Tumben aku bisa sarkastik gini. Tapi ada apa sebenarnya dengan diriku?
"Lo berubah," ucapnya tegas. Aku hanya mendengus. Tidak penting.
"Saya berubah bagaimana akhi? Saya hanya ingin membawa diri saya menjadi lebih baik," ucapku datar, tapi dia tampak ingin berbicara lagi.
"Sebenernya gue cuma gak mau lo berubah, gak dosa kan tetep ramah?" Ucapnya, emang aku berubah jadi gak ramah? Kata siapa sih?
"Sa-"
"Gue kagum sama lo," ucapnya, emang aku berprestasi? Di kagumin segala.
"Ga ada alasan buat akhi mengagumi saya, assalamu'alaikum," ucapku dan langsung menuju ruang guru.
Semoga ulanganku lancar, aamiin.
★
"Tif, lo sakit ya?" Tanya Nissa, ia dia barusan mengajakku ke rooftop untuk sekedar mebgobrol.
"Sakit?" Tanyaku saatku kebingungan saat dia bilang aku sakit, sakit kaki sih ia.
"Yang membuat lo tranfusi rutin," ucapnya. Nissa tau? Dia paranormal? Atau jangan jangan anak indigo? Atau-jangan mikir macem macem dih Tifah.
"Maksudnya?" Ucapku pura pura ga ngerti.
"Fah, lo cerita sama gue dong," bujuknya. Cerita ga ya?
"Aku mengidap Thalasemia Nis, sum-sum ku ga bisa memproduksi darah sendiri," ucapku dan Nissa terlihat terkejut.
"Kamu liat muka Azam ga tadi pagi?" Tanya Nissa dan aku menggelengkan kepala. Azam kenapa? Tapi aku denger muka Azam itu pucet.
"Dia kangker darah, dia itu sebenernya anak baik, tapi..."
"Tapi?"
"Dia korban bullying, ya walaupun di bukan anak baik baik banget juga," ucapnya, aku baru tau.
"Dan yang Bully itu kakak gue," ucapnya.
Dulu dia bilang Azam yang buat kakaknya kaya gitu, sekarang dia malah ngomong seakan Azam korbannya. Dia sebenernya kenapa?
"Gue boong, dulu gue bilang Azam buat kakak gue kaya gitu? Gue boong, justru gue yang buat Azam di bully sama kak Fauzi," ucapnya, dan aku mendengarkan.
Tapi, dia kok tau Azam kanker darah sih?
"Gue sempet jadi temen deket sama dia, waktu SMP, dia sih bukan anak baik baik banget, tapi dia bukan anak buruk banget juga, tapi kak Fauzi ga suka sama dia, Kak Fauzi gak suka kalo dia terlalu deket sama gue, jadi ya gitu," ucapnya, dia seperti cemas, dari kemarin dia cemas terus.
"Kamu ko cemas gitu sih Nis?" Tanyaku setelah mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Aku jadi khawatir sendiri liat dia cemas gitu.
"Hari jum'at kemaren Azam pinsan, dia pucet, dan idungnya keluar darah, gue bingung, gue juga belum paham banget tentang agama, jadi gue pikir kalo terdesakpun gue tetep ga boleh nyentuh dia, bukan mukhrim, gue pun ga bantu dia cuma liatin.
"Dan bodohnya, gue ga ngomong apa apa, gue cuma kaget, gue panik, dan Gilang kebetulan lewat, dan kita debat dulu sebelum Azam di bawa ke UKS, gue ngerasa bersalah sama Azam, gue jadi takut sama Gilang, serem mukanya,"
"Ada ada aja den Nis, haha, masa Gilang serem juga diceritain, kan lagi serius, eh belakangnya gak banget,"
"Gue serius, Gilang itu serem kalo lagi kesel, menurut gue."
★
Ye-ay, maafkan typonya yha:3
Makasih RVC yhaa:3