"Tif, boleh minta waktu bentar buat ngobrol ga?" tanya Nissa dan aku mengangguk. Mungkin ini permintaan dia tempo hari yang memintaku untuk menemaninya berbincang.
"Boleh Nis, ayo!" ucapku dan kami menuju rooftop bangunan ini. Setelah kami di Rooftop, Nissa langsung duduk di salah satu bangku. Rooftop ini selalu dijadikan tempat berlangsungnya acara besar, jadi di sini ada semacam bangku permanen gitu.
"Ada apa Nis?" tanyaku dan Nissa langsung menangis tersedu sedu seraya meminta maaf padaku. Ada apa?
"Maafin gue Tif, maaf," ucap Nissa di sela tangisannya. Entahlah, aku tak menyangka Nissa akan menangis bombay seperti ini, mengingat dia orang paling cuek diantara kami berempat. Mungkin aku tidak mengenal Nissa.
"Ada apa?" Tanyaku dan duduk di depannya. Dia menghapus air matanya seraya menarik nafas panjang lalu menghembuskannya.
"Soal kakak gue, Fauzi. Gue tau dia kemarin gangguin lo, dia cerita ke gue. Please, maafin dia," ucapnya setelah dia menenangkan diri. Aku sudah mengira, Fauzi yang dimaksud Nissa di suratnya kemarin, adalah Fauzi yang itu.
"Gue capek, dia gak bisa dikasih tau. Dan satu hal, gue gak kuat liat Azam mulu, itu membuka luka lama Tif," ucapnya, kok bawa bawa Azam? Iya sih, pandangan Nissa jika melihat Azam sangat berbeda, seperti menyimpan masa lalu yang tidak bagus, tetapi aku bisa melihat tatapan rindu dari mata Azam.
"Azam?" Tanyaku, dan dia mengangguk.
"Gue lulusan Wastu Kencana. Gue dimasukin ke sini juga gara gara hidup gue yang dulunya ancur," ucapnya, aku semakin entahlah, aku tidak terlalu menangkap cerita Nissa, aku hanya tertarik pada apa hubungan Azam dan Nissa di masa lalu.
"Azam, bukan orang baik, bukan gue mau ngehujat dia, tapi gue kenal dia lebih lama dari lo," ucapnya seraya menghapus air mata. Oke, Azam memang terlihat kacau saat di ruang administrasi. Tapi entahlah aku melihat dia berubah. Dia tak sekacau saat pertama aku melihatnya.
Meskipun begitu, dia kan nyelamatin aku?
Dari kakaknya pula.
"Oh ia, waktu jam istirahat kemarin, gue liat lo sedih banget dan gak masuk ke kelas, sebenernya ada apa?" ucapnya mengalihkan topik. Dia wanita tegar. Tapi entah kenapa, aku merasa... aneh. Ada yang salah.
"Gak tau, aku tadinya mau masuk kelas, tapi debu masuk ke mata, ya jadinya dikucek dulu baru masuk, eh ada kamu, jadi ya kita masuk bareng," dusta ku. Akhwat pintar kaya dia, mana mungkin bisa aku boongin?
"Gilang ya?" Tanya Nissa. Apa alesan dia nebak Gilang? Tapi entahlah aku akui, Gilang lah alasanku bengong di depan pintu kelas kemarin.
"Hati hati aja sama Bintang," ucapnya, dan aku tertawa. Entahlah, mungkin dia sedang bercanda. Dia pun ikut tertawa.
"Balik ke asrama yuk!" Ajak Nissa, dan aku mengekor hingga ke kamar.
***
"Bang Kahfi, lo bisa!" ucap kak Faiz, tapi Bang Kahfi terus memeluk kakinya dan menggeleng. Aku takut. Entah apa yang membuatku takut.
"Bang, aku tau, kamu bisa, percaya sama aku," ucapku dan dia malah menjerit. Ya Allah, Bang Kahfi kenapa?
"Gue pembunuh! Kalian denger? pembunuh!" teriaknya. Abi dan umi sedang tak ada di rumah.
"Gak Bang, karena lo, sekarang gue kuliah di kedokteran juga, lo inspirator gue," ucap kak Faiz. Bang Kahfi terus memeluk kakinya.
"Bang Kahfi!" teriak kak Faiz saat tiba tiba Bang Kahfi jatuh pingsan.
"Dek! Panggil abi! Hubungi abi sekarang!" perintah kak Faiz, dan aku langsung menelpon Abi.
"Nomor yang anda panggil tid-" aku pun memutuskan panggilan.
"Abi hp nya ga aktif kak," ucapku.
"Apa kita harus hubungi ummi? Tapi ummi sedang terapi?" ucap Kak Faiz.
"Kita harus gimana kak?" tanyaku.
***
Aku pun terbangun dari mimpiku. Aku seperti... entahlah. Bang Kahfi...
Aku melihat jam dinding, dan waktu menunjukan pukul setengah tiga pagi. Akupun memutuskan untuk shalat tahajud, tanpa menbangunkan yang lain. Gak tega.
***
Tbc
Ye-ay, maafkan untuk typo yhaa:3
Gakbosen bosen gue ucapka terimakasih untuk RVC nya :)