13. Maaf Ham.

7.7K 576 16
                                    

Bel pulang berdering lima menit yang lalu, semua siswa sudah kembali ke asrama. Hanya ada aku dan Audrey?

Audrey, dia anak paling jarang berbicara, kalo dia gak pake name tag di jas nya. Aku gak mungkin tau nama dia. Tapi aku tau dia anak baik.

"Lathifah?" tanya Audrey seraya mendekat. Dia terlihat takut, gugup, atau apalah itu. Selain pendiam, dia juga aneh.

"Ia ada apa Dry?" tanyaku dan dia menyerahkan post it berwarna biru langit. Dia pun langsung bergegas peegi tanpa mengucapkan apapun.

Hati hati sama Opi, gue cuma gamau lo nyesel. Kaya gue.

Dia kenapa ya? Opi? Siapa coba?

Tanpa mengambil pusing tulisan Audrey, akupun bergegas menuju Asrama. Tapi di depan kelas Idham mengagetkanku. Tunggu! Idham? Ada apa Idham menunggu aku?

"Idham? Ada apa Ham?" tanyaku saat Idham... tampak kecewa. Saat orang seperti Idham kecewa, itu sesuatu yang patut dipertanyakan. Dia benar benar mengingatkanku pada Ilham. Ilham, bisa di bilang dia yang mengenalkanku pada dunia dan menolongku untuk menjawab siapa aku.

"Tif! Ilham Tif!" teriak Idham dari telepon. Tumben dia ga pake salam dulu. Ada apa sebenernya?  Aku panik setengah mati.

"Ada apa Ham?" tanyaku tegang. Aku semakin panik mendengar Idham panik.

"Tif, dia butuh lo! Please, ibu minta lo dateng ke sini ," ucapnya dan aku langsung membawa tas kecil milikku, dan berlari tanpa pamit atau salam. Rumah Ilham tak terlalu jauh, jadi aku memutuskan berlari.

"Ham! Aku diluar!" teriakku seraya mengatur nafas, tak lama Idham muncul masih menggunakan baju seragam sekolahnya.

"Tif? Lo lari dari rumah?" tanya Idham, walaupun bukan bermaksud, tapi aku jadi ambigu artinya aku kabur.

"Ilham kenapa?" tanyaku ikutan panik. Dia langsung membuka pagar rumahnya dan mengajakku masuk. Diapun mengantarku ke kamar Ilham.

"Ilham?" tanya ku dan dia mengangkat tangan sebagai respon. Dia sedang berbaring ditemani ibunya dan kak Gerda, kakaknya. Yaampun dia kenapa? Ibu Hasna berdiri mempersilahkanku.

"Ham?" tanyaku seraya duduk.

"Aku cuma mau ngasih buku ini, lo lagi nyari kan?" ucapnya dan memberikan buku berwarna merah muda bertuliskan "Aku Muslimah".

"Ham, ginjalnya kambuh lagi kan?" tanyaku ketika aku melihat dia meremas bagian perutnya. Dan dia langsung tak sadarkan diri, kak Gerda langsung mengangkat Ilham menuju mobil keluarga.

"Lo ikut ya?" ajak Idham dan aku mengangguk.

"Tifah!" bentak Idham menyadarkanku. Dan Ilham menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

"Jadi ada apa?" tanyaku. Dia tampak geram. Apa dia kesal gara gara aku?

"Fah, gue gak nyangka lo buang ini?" ucapnya dan menunjukan buku yang berjudul Aku Muslimah itu, dan sekarang aku gak tau mau jawab apa.

"Kan buku itu dicetak ga satu Ham," ucapku, ya memang kan? Tapi entahlah perasaanku tidak enak.

"Tapi yang ada tanda tangan lo cuma ini Tif," ucapnya membuka halaman yang membahas tentang hijab. Ya disitu ada tanda tangan ku. Dan aku ingat pernah menandatanganinya.

Aku harus ngomong apa?

Aku pun mengambil buku itu dan pergi, tapi Idham menahan tanganku sangat kuat. Sampai aku merasakan sakit. Dan untung tak ada siapapun yang menyaksikan ini, kalo ada matik lah ketauan bersentuhan sama yang bukan mukhrimnya. Aku berusaha melepaskan cengkramannya, tapi dia mencengkramku terlalu kuat.

"Sakit ya? Gimana Ilham Tif?!" bentaknya, dan aku berusaha melepas cengkraman Idham, tapi tetap tidak bisa.

"Gue nemuin ini di perpus sekolah, kata penjaganya, buku ini berasal dari panti asuhan yang bangkrut." Ucapnya dan melepas tanganku. Aku langsung berlari ke arah asrama.

Aku gak berniat ke Asrama, aku hanya ingin duduk di gazebo. Aku membuka lembaran buku ini. Setiap bab yang membicarakan tentang lelaki dan wanita, aku menulis Ilham

"Ilham, maafin aku," ucapku lalu menunduk, aku ingin menangis. Akupun tak tahu sebabnya. Segala hal tentang Ilham membuat dadaku sesak. Membayangkan bagaimana dia tertawa, tersenyum, marah, cemberut benar benar membuatku sesak, apalagi menyadari bahwa Ilham telah tiada.

"Gue minta maaf Tif," itu seperti suara Idham, aku gak kuat denger suaranya. Mengingatkanku pada Ilham. Akupun berlari menuju kamar.

Aku pun menangis di kamar dan mengingat kembali kenangan ku bersama Ilham.

"Bengong aja sih say, nanti cantik nya luntur loh, eh lupa kan cantiknya Latifah itu tidak akan pudar," ucap Ilham, kebiasaan deh ini anak manggil orang seenak jidat aja. Jam istirahat memang paling asyik kalo sama Ilham, atau Ririn, Ai, atau Syifa.

"Dih pacar aja bukan, udah manggil sayang aja," ucapku dan mencubit bahunya dan dia tertawa.

"Mau gak jadi pacar nya Ilham Ghifari?" ucap Ilham, dia selalu bilang gitu walaupun dia tau jawabanku.

"Denger ya Muhammad Ilham Ghifari Putra, di islam itu gak ada pacaran, yang ada ta'arufan," ucapku dan dia sosoan mikir, aku aja udah tau dia mau bales apa.

"Kalo gitu, ta'arufan yu!" ucapnya. Tepat seperti dugaan.

"Tau gak sih ta'arufan itu apa?" ucapku gemas, biasanya aku hanya membalas dengan tawa.

"Emangnya apa?"

"Ta'arufan itu perkenalan, bukan pacaran.. ya.. semacam ngelamar, muke gile aku dilamar waktu SMP,"

"Bentar lagi juga udah SMA,"

Drrrt...

Getaran yang berasal dari ponselku pun menyadarkanku dan membuat aku harus mendongak.

Gilang: Assalamu'alaikum Tifah, kalo gak salah liat tadi lo naniis di gazebo? Lo kenapa Tif? Mau cerita ke gue?

Lathifah: Wa'alaikumsalam warahmarullah, kamu salah liat.

Memang kan? Aku gak naniis, tapi nangis. Aku gak berdusta.

Apasih Put omg._. Jadi pengen punya pacar kaya Ilham deh, eh lupa kan udah almarhum-_-

Ye-ay maafkan typo nya yhaa:3

Fyi aja.. mungkin bentar lagi klimaks.. mungkin.

As always gue ucapkan terimakasih yang udah baca, votes atau comments. \(*-*)/

Boarding School [Editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang