#1

206 5 0
                                    

 Kontrakan pagar biru, pukul sebelas siang. Ayah masih tertidur di kamarnya.

"Yang, bangun!" Nur yang baru saja tiba, langsung membangunkan ayah.

"Apaan sih? Kamu ganggu orang tidur bae!" Ayah marah. Masih meringkuk di atas kasur.

  Hari ini, mentari bersinar cerah. Kota Jogja terasa panas menyengat. Hari ini pula, adalah hari di mana tepat satu bulannya umur hubungan ayah bersama Nurhayati, kekasihnya. Ya, tak terasa sudah satu bulan hubungan mereka. Satu bulan itu terasa manis, bahkan teramat manis. Semuanya berjalan harmonis.

"Sayang, bangun!" Lagi-lagi, Nur membangunkan ayah kembali. Mungkin hanya berselang dua menit dari saat ia membangunkan ayah pertama tadi.

"Apa sih, Sayangku?"

"Bangun! Makan." Nur melirik masakan di hadapannnya dan juga beberapa alat makan yang sudah ia siapkan pula.

  Ayah beranjak, bangun, ikut menatap beberapa menu masakan itu. Sepertinya sangat lezat. Tercium dari aromanya.

"Cuci muka sana! Terus makan!"

"Iya." Ayah melangkah menuju kamar mandi, mencuci mukanya.

Tak lama, ayah pun kembali ke kamarnya.

"Kamu masak apa?"

"Aku baru aja bikin ayam teriyaki. Cobain deh!" Nur mengisi piring kosong dengan dua centong nasi dan ayam teriyaki. Ia sodorkan piring tersebut kepada ayah, kekasihnya.

"Baru? Ini percobaan dong?" Ayah meraih piring itu.

"Alah, gak ada racunnya ini."

Ayah menyuapkan suapan pertama ke dalam mulutnya. "Tuh kan, kebanyakan!" Ayah menggerutu.

"Kebanyakan apanya? Garemnya apa kebanyakan?"

"Bukan. Tapi ini emang ada bumbu yang kebanyakan."

"Masa sih?" Nur segera menyuapkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Seperti penasaran dengan rasa masakannya yang ayah komentari. "Enggak ah. Enak kok. Pas pas aja semuanya."

"Kamu kasih bumbu cintanya kebanyakan! Aku bisa mabok asmara kalau makan ini mah." Ayah nyengir.

"Kamu itu bangun tidur loh, Yang!" Nur mengembus napas panjang.

  Mereka pun kembali menikmati makanannya masing-masing. Blubuk.. bluubuuk.. suara air galon terdengar. Seseorang sedang mengisi gelasnya.

"O?" Ayah berteriak dari dalam kamar. Menebak orang itu.

"Oy!" Ipin berteriak kembali. Menjawab.

"Makan sini, Pin!" Kali ini, Nur yang berteriak.

  Ipin menghampiri kamar ayah. Ia berdiri di tengah bingkai pintu, bersandar di salah satu tiangnya. Ipin menggenggam air minum di gelas yang telah hanya menyisakan setengahnya.

"Makan apa euy? Anjir, enak pisan Cuple mah, bangun tidur udah ada yang nganterin makan."

"Eh, ayo makan bareng, Ipin! Aku masak banyak tuh. Buat Abaw juga." Nur melirik masakannya.

"Enggak ah, takut ganggu kalian." Ipin cengengesan.

"Gimana sih, Yang, temen kamu? Disuruh makan aja susah, apalagi disuruh kerja!" Nur mengangkat bahu.Tertawa, menyikut paha ayah.

"Tinggal makan, O, Gimana sih?" Gerutu Abaw yang baru datang. Menabrak bahu Ipin dari belakang, ia pun bergabung bersama ayah dan Nur. Duduk bersila, ikut menikmati masakan Nur.

  Beberapa detik kemudian, akhirnya Ipin pun menyusul Abaw. Siang itu, mereka menyantap makan siang masakan Nur bersama-sama. Dengan Ipin yang sebelumnya malu-malu, ternyata sampai nambah akhirnya. Setelah makan, ayah menyalakan sebatang rokok. Bersandar di dinding kamar. Nur merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari menonton TV. Kekenyangan.

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang