#3

17 3 0
                                    

 Satu jam berlalu. Ayah mengantar Nur pulang ke kostnya.

"Besok mau aku masakin apa?" Tanya Nur. Turun dari jok belakang vespa, melepas helm.

"Besok aku anter kamu belanja."

"Serius? Biasanya marah-marah kalau aku minta anter ke pasar? Apalagi disuruh bangun pagi." Nur mengangkat bahu.

"Iya. Lagian, besok kan sabtu? Aku gak ada kelas. Aku bisa tidur abis aku nganter kamu. Terus, sorenya, aku ke festival."

"Oh, yaudah. Jam enam pagi loh kamu ke sini!"

"Harus banget jam enam?"

"Iya, ih. Kalau telat, bahan-bahannya suka kebagian yang udah gak seger."

"Iya sih. Aku juga kecewa sama kamu yang gak seger."

"Alah, kamu! Ceweknya kusem dikit aja, udah kecewa. Lagian, aku kusem juga kan nemenin kamu?" Nur tertunduk. Sedikit menggerutu.

"Maksudnya, aku kecewa kamu gak segera jadi istriku, Sayang!" Ayah tertawa. "Aku pulang uhun? Aku sayang kamu."

"Cepet nikahin makanya!" Nur menjulur lidah. "Iya, Sayangku. Tiati. Aku lebih sayang sama kamu."

"Dih, orang cuma ke gang sebelah, pake hati-hati segala."

"Iya, hati-hati. Karena, ada hati yang selalu khawatir kalau kamu gak di sisiku."

"Ciye.., kiww!" Ayah mengecup kening kekasihnya. "Aku pulang." Kelakson vespa ayah bunyikan. Vespa ayah pun melaju, meninggalkan halaman kost Nur menuju kontrakannnya.

 Tak sampai satu menit, ayah tiba di kontrakan. Memarkir vespa. Malam itu, ayah begadang. Ia takut, jika ia tertidur, ia akan terlambat mengantar Nur ke pasar esok pagi. Malam itu ayah habiskan bersama Ipin dan Abaw. Sudah lama pula ayah tak menghabiskan banyak waktu berkumpul bersama mereka. Ya, semenjak ayah mempunyai kekasih di Jogja, Nurhayati ini.

  Mereka asyik bercengkrama di kamar ayah. Seperti biasa, ditemani alunan musik piringan hitam favorit ayah. Ipin yang bercita-cita menjadi barista pun meracik tiga gelas kopinya. Ia sajikan untuk kedua temannya sebagai teman ngobrol mereka. Malam semakin larut, bahkan telah hampir menuju dini hari.

  Pukul 03:00, Abaw menyerah. Ia pamit untuk beristirahat terlebih dulu. Di kamar ayah, hanya menyisakan ayah dan Ipin. Ternyata, kepergian Abaw itu adalah momentum yang sudah sedari tadi Ipin tunggu. Katanya, ada hal internal yang akan ia bicarakan kepada ayah.

"Ple, kenapa si Abaw gak dari tadi aja sih tidurna?" Ipin menggerutu.

Ayah tertawa. "Lah, emangna kenapa, O?"

"Urang mau curhat, Ple."

"Anjir." Ayah tertawa terbahak. "Curhat apa atuh ini teh?"

"Ya, urang kan punya pacar di kampung."

"Oh, si Tri, joy? Jadi atuh sama si Tri teh?" Ayah memotong perkataan Ipin.

"Santei sih, Ple. Dengerin dulu!"

Ayah tertawa. "Ah, iya, sok, lanjut!"

"Tah, iya. Jadian udah dua bulan sama si Tri teh, Ple. Tapi, lama-lama mah, anjir, si Tri teh curigaan pisan. Dikit-dikit, nuduh. Gak percayaan, Ple." Jelas Ipin.

  Kasihan sekali memang Ipin yang mempunyai kekasih seperti itu. Mendengar curhatan Ipin ini membuat ayah kembali teringat, bahwa, memang benar, saling terbuka dan saling percaya adalah tiang utama dalam membangun sebuah hubungan. Ayah yang payah dalam urusan asmara pun hanya tertawa menyikapi curhatan Ipin ini. Yang membuat Ipin pun terdiam dan seperti malas melanjutkan curhatannya itu.

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang