#28

7 1 0
                                    

 Langit hitam pekat, gelap, mendung merundung. Tak satu pun bintang menggantung. Ayah sempat merasakan rintik gerimis saat ia hendak pergi ke sana. Namun, karena takut Nur akan terlalu lama menunggu, ayah pun memaksakan memacu laju vespa saat itu juga.

  Kiranya, sepuluh menit, waktu perjalanan dari kontrakan menuju café itu. Syukurnya rintik gerimis masih konsisten, tak melebat hingga ayah tiba di café itu. Ayah memarkir vespa di parkiran café.

  Saat itu, saat tengah memasang standar dua vespa, Nur sudah terlihat duduk manis, dan rupanya Nur pun memilih meja yang sama dengan saat ia bersama ayah dulu. Ayah yang melihatnya sampai dibuat terkesima. Rupanya ayah memang sangat merindukannya. Ayah menganggap perempuan itu masih kekasihnya. Ayah melangkah heroik memasuki café sembari membuka parka yang sedikit basah akibat gerimis. Ia duduk berhadapan dengan Nur. Pelayan tiba, mengantar menu. Pesanan milik Nur sudah tertata di atas meja. Dengan cepat, ayah memilih pesanan. Pelayan pun kembali. Berbalik kanan, meninggalkan meja ayah dan juga Nur. Namun, setelah berhadapan persis dengan Nur, apa yang kini ayah rasakan? Ayah merasa, kali ini Nur yang ada di hadapannya justru bukanlah Nurhayati kekasihnya. Bahkan, itu bukan Nur teman KKNnya. Itu adalah Nur teman kuliah ayah, yang hanya akan berbicara untuk sekadar saling sapa.

"Aku di sini untuk apa?" Tanya ayah, memecah hening yang sudah menginjak hingga lima menit lamanya.

"Nanti." Ucap Nur, yang sedari tadi, semenjak ayah tiba, ia hanya asyik bermain ponsel.

  Lima belas menit berlalu dengan keadaan yang kembali lengang menikam. Pelayan datang menghampiri mereka. Mengantar pesanan ayah. Bersamaan dengan pelayan yang tengah menata pesanan ayah di atas meja, Nur menyimpan ponsel yang sejak tadi dimainkannya ke dalam tas. Pelayan pergi, dan Nur membuka mulutnya.

"Kamu apa kabar?" Tanya Nur.

"Baik, Nung." Ayah yang tak nyaman dengan sikap Nur ini, menjawab sekadarnya.

"Makasih ya udah mau dateng. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Tiga hari lagi aku pulang ke Semarang. Ke sini juga cuma mau beresin barang-barang yang bisa dibawa pulang." Nur beranjak, merapikan roknya.

"Maksudnya? Kamu mau ninggalin Jogja?"

"Iya, Ple. Aku duluan ya?" Nur melangkah meninggalkan ayah.

  Seketika, ayah tersungkur di meja café. Ia memejamkan kedua mata. Ia merasa akan ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, setelah ia mendengar perkataan tadi. Nur akan meninggalkan Jogja. Sementara, Nur pernah berjanji untuk tetap tinggal di Jogja menemani ayah selama ayah masih berkuliah. Dada ayah terasa sesak. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya tanpa Nurhayati. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, ayah sangat merindukan perempuan itu. Ayah masih sangat menyayanginya. Ayah tak rela jika perempuan tersebut harus meninggalkannya. Mengapa semuanya jadi seperti ini? Pikir ayah.

  Nur telah lenyap meninggalkan café. Gerimis yang turun tadi berganti hujan yang begitu lebat. Sesekali cahaya kilat berkerlip. Air hujan riuh, gelegar guntur bergemuruh, hati ayah seketika runtuh. Ia tak percaya atas perkataan perempuan bernama Nurhayati itu. Ayah tak menyentuh sedikit pun pesananya. Ia beranjak, melangkah lunglai keluar café sembari mengenakan parkanya. Menghampiri vespa, dan vespa pun melaju di tengah guyuran hujan yang amat deras.

  Nur pasti bercanda, ia pasti sedang menjahili ayah. Pikir ayah, sembari memacu laju vespanya.

  Jutaan rintik hujan menemani perjalanan ayah. Ayah memacu laju vespa dengan amat perlahan. Ia senang berada di bawah guyuran hujan seperti ini. Kepala ayah sesekali mendongak, menatap langit, agar wajahya ikut tersirami. Perjalanan itu sangat ayah resapi di tengah hati yang sedang entah apa rasanya ini.

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang