Tiga bulan itu telah berlalu. Ayah telah berhasil melewati masa-masa rehabilitasinya. Selain itu, ayah pun berhasil melewati masa-masa teori perkuliahannya. Ayah menginjak masa penyelesaian akhir, yaitu skripsi. Berbeda dengan ayah, skripsi Nur telah rampung di satu bulan yang lalu dan mingu depan adalah hari di mana Nur wisuda.
Hari ini, satu minggu sebelum Nur diwisuda. Pukul 20:00, ayah mengantar Nur ke salah satau studio foto. Nur hendak melakukan sesi foto untuk syarat di ijazahnya kelak. Setibanya di studio foto, Nur meraih nomor antrean terlebih dulu, sementara ayah telah duduk manis di atas kursi antrean.
"Jadi wisuda apa?" Tanya ayah, sedetik setelah kekasihnya duduk di sampingnya, dengan kupon nomor antrean yang telah digenggamnya.
"Jadi dong." Nur nyengir.
Ayah dan Nur lengang dua puluh detik di tengah keramaian studio foto.
"Kamu kenapa, Sayang?" Tanya Nur, setelah dua puluh detik tadi. Mungkin ia heran dengan ayah yang membisu.
"Gakpapa, Sayang." Ayah tersenyum kepada kekasihnya.
"Kamu takut ya?"
"Takut apa?"
"Takut aku diwisuda, terus aku pulang ke Semarang?"
"Dulu, kamu selalu denger kalau aku ngegerutu. Sekarang-sekarang kok kamu lebih ajaib bisa tahu apa yang ada di pikiranku?" Ayah mengangkat bahu, menanyakan hal yang memang sangat mengganjal di hatinya.
"Aku tahu apa pun yang ada di dalam diri kamu" Nur menjulur lidah. "Tenang, Sayang, aku gak bakalan pulang dulu kok. Aku bakalan nemenin kamu dulu sampai kamu selesai kuliah. Terus, nanti kita nyari kerja bareng. Atau buka usaha bareng."
"Kok ada atau buka usaha bareng?"
Nur tertawa lebar. "Ya, iyalah, kamu kan gak suka kerja?"
"Tauan euy. Kamu udah siap jadi TKW ke Arab kan?" Ayah tertawa.
"Alah, kamu!" Nur mencubit perut ayah.
Antrean masih cukup panjang. Ada banyak, bahkan puluhan mahasiswa yang tengah melakukan sesi foto. Mungkin, karena musim wisuda. Namun, memang ada pula beberapa yang melakukan sesi foto bersama, semacam foto kenangan bersama teman-temannya.
Mendengar apa yang Nur katakan tadi membuat ayah merasa sedikit lega. Sedari tadi, setibanya mereka di studio foto ini, ayah memang terus kepikiran akan Nur yang hendak diwisuda. Ayah takut jika Nur meninggalkannya, pulang ke kampung halaman setelah ia diwisuda nanti. Berkaca dari yang sudah-sudah, memang hampir semua teman ayah yang telah diwisuda, mereka kembali ke kampung halaman mereka.
Satu per satu orang yang duduk di kursi anteran menghilang, walaupun kursi kembali terisi oleh mereka yang baru datang. Namun, itu menjadikan nomor antrean Nur semakin dekat dengan pemanggilannya.
"Udah mau dipanggil." Nur memamerkan kupon nomor antrean yang ia genggam.
"Iya. Siap-siap sana!"
"Kamu gak mau foto bareng aku?"
"Buat apa? Masa ijazah kamu fotonya berdua? Nanti dikiranya biaya kuliah kamu hasil patungan?" Ayah tertawa lebar.
Nur pun tertawa. Dua puluh menit kemudian, akhirnya Nur pun mendapat giliran panggilan. Ia bergegas memasuki ruangan studio, tempat di mana ia akan bersua foto. Entah apa yang Nur lakukan selama tiga puluh menit berada di dalam studio foto itu. Ayah lebih memilih untuk tetap menunggunya di kursi antrean.
Tiga puluh menit berlalu. Nur kembali menghampiri ayah di kursi antrean tadi. Ia mengajak ayah untuk pindah mengantre ke tempat antrean yang digunakan untuk menungu hasil jepretan dari foto tadi. Duduk di kursi antrean tempat menunggu hasil jepretan tak selama saat ayah dan Nur menunggu di kursi antrean sebelumnya. Hanya menunggu 10 menit, beberapa potret Nur pun selesai tercetak berlembar-lembar banyaknya. Semua lembaran itu berpotret Nur dengan paras yang begitu cantik. Rambutnya digerai, berjas, layaknya wanita kantoran. Namun, ada satu lembar di mana potret Nur berbeda dari yang lainnya. Paras yang lebih cantik, rambutnya dicepol, kesukaan ayah. Mengenakan dres, kakinya yang ramping dan seksi didukung oleh sepatu kaca berhak tinggi, yang menjadikan dririnya terlihat persis seorang putri. Ayah tak henti memandangi potret itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."