#6

19 2 0
                                    

 Pukul 20:00, kiranya Nur kembali menelepon ayah. Ia berkata dalam panggilan telepon itu, ia telah siap dan meminta ayah untuk segera menjemputnya di kost. Nur mengajak ayah pergi jalan-jalan dan pergi ke sebuah kedai kopi. Malam itu, ayah memacu vespanya, menuju kedai kopi yang beberapa hari lalu ayah dan juga Nur mengunjunginya, saat Nur bercerita tentang keluarganya, dan ayah yang sembari menikmati suasana kemacetan di jalanan kedai kopi itu.

  Perjalanan menuju kedai kopi dengan suasana jalanan ramai lancar, ayah tak terlalu cepat memacu laju vespa. Langit malam cerah sepenuhnya. Lengkap dengan rembulan bundar dan berjuta bintang berserakan di atas langit Yogyakarta. Nur memeluk ayah dengan erat di jok belakang. Pelukan itu serasa berkata, bahwa Nur sangat menyayangi ayah, kekasihnya. Bergantian dengan kopling vespa, tangan kiri ayah sesekali menggengam tangan kekasih yang tengah memeluknya. Perjalanan itu terasa begitu romantias dan menyenangkan, ditambah dengan Nur yang sesekali menjahili ayah dengan menggelitiki pusarnya. Ayah yang sembari menahan geli dan tertawa-tawa, terus berusaha mengamankan laju vespa agar tak oleng. Nur hanya tertawa dengan tingkah jahilnya itu.

  Akhirnya, mereka tiba di kedai kopi yang sama dengan beberapa hari lalu itu. Namun, meja mereka tak sama kali ini. Meja yang menghadap jalanan telah terisi lebih dulu oleh sepasang muda-mudi juga. Nur memilih meja lain. Pelayan kedai kopi datang membawa buku menu. Seperti biasa, kekasih ayah sedikit lama memilih pesanan. Ia selalu fokus terhadap buku menu, sementara fokus ayah menatap mata kekasih yang sedang asyik memilih pesanan itu. Suasana kedai kopi tak terlalu ramai. Tak terlalu bising, dan lantunan musik kedai pun melantunkan musik mellow. Mungkin sengaja untuk menciptakan nuansa romantis bagi para pengunjungnya.

  Setengah jam berlalu dari itu, pesanan pun datang. Ayah memesan kopi. Kopi gelas ke tiganya hari ini. Namun, bila harus menilai kopi mana yang paling lezat, dengan sangat yakin aku menebak, ayah akan memilih kopi pagi harinya tadi, buatan Nurhayati.

"Sayang?" Ucap Nur. Merapikan pesanan mereka di meja.

"Iya. Kenapa, Yang?"

"Kemarin, aku cerita soal keluargaku di sini kan?"

"Oh, iya. Kenapa?"

"Aku mau lanjutin."

"Enggak ah. Nanti, kamu nangis lagi." Ayah tertawa.

"Enggak, Sayang. Kamu harus tahu semuanya." Ucap Nur. Lantas ia pun bercerita.

  Bahwa, sesungguhnya, Nur adalah salah satu anak yang menjadi korban dari kehancuran sebuah keluarga. Kedua orang tua Nur berpisah saat Nur meninjak kelas tiga SD. Semenjak itu, ia dialihasuhkan kepada kakek dan neneknya. Ayah Nur adalah pengusaha terkenal di daerahnya. Bergelimang harta atas kesuksesan yang ia miliki dari hasil usaha tersebut. Hidupnya hanya tentang pekerjaan dan uang. Ia tak pernah peduli dengan waktu untuk keluarganya. Ia hanya memberi keluarganya harta yang berlimpah. Sementara, awalnya ibu Nur hanya ibu rumah tangga, yang seluruh waktunya digunakan untuk mengurusi kedua anaknya. Entah mengapa, pertikaian antar kedua orang tua Nur selalu menghiasi suasana rumah. Hingga, akhirnya, sang ibu memutuskan keluar dari rumah itu.

  Entah kemana ia pergi. Ia meninggalkan Nur dan dan anak laki-lakinya yang sudah duduk di bangku SMA, yang mana saudara laki-laki Nur. Tak lama, Nur kecil pun ikut keluar dari rumah orang tuanya dan diasuh oleh nenek dan kakeknya. Dengan usia yang telah cukup dewasa, saudara laki-lakinya bertahan di rumah itu bersama sang ayah.

  Enam tahun berselang, saudara laki-laki Nur mencari kabar akan ibunya. Ia berusaha untuk bisa kembali menyatukan keluarga yang sudah cukup lama tak ada kejelasan itu. Cukup lama, ia mencari kabar dari ibunya. Namun, semua nihil. Kabar akan ibunya selalu samar didapat. Akhirnya, ia menyerah dan memutuskan untuk menikah.

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang