Langit gelap seutuhnya. Tak ada bintang, bulan pun terhalang pekatnya gumpalan awan hitam. Kedai kopi semakin ramai. Hampir seluruh mejanya terisi oleh para pelanggan. Kopi di cangkir ayah mulai surut mendekati ampas. Makanan ringan hanya dicemili kekasihnya. Setengah bungkus rokok ayah memuntung. Berselirak di badan asbak.
"Yang?" Nur berbisik, pelan.
"Euy!" Ayah tersenyum.
"Hubungan ini bisa bertahan berapa lama?"
"Selama kita saling percaya dan terbuka, aku yakin hubungan ini bakalan terus bertahan."
Nur hanya diam saat mendengar perkataan ayah itu. Ayah pun tak tahu apa yang sedang dipikirkan kekasihnya. Namun, ayah meyakini bahwa ada hal yang lebih besar dari masalah kepala dinas tadi, yang masih Nur tutupi dari ayah. Ayah hanya memeluk kekasihnya. Mengelus-elus bahunya. Sesekali, ia pun merapikan anak rambut kekasihnya yang tercerai-berai. Ayah hanya ingin membuat suasana menjadi lebih nyaman untuk kekasihnya. Agar apa yang mengganjal dalam pikiran ayah ini bisa dijawab oleh kekasihnya dengan baik-baik dan leluasa.
Satu jam telah berlalu. Nur masih asyik termenung di pelukan ayah.
"Yang?" Nur kembai berbisik pelan. Nadanya seragam dengan saat ia memanggil ayah satu jam lalu.
"Euy!" Jawaban ayah pun serupa. Kembali tersenyum.
"Apa keluargamu baik-baik aja?"
Ayah termenung lima detik. Terheran dengan maksud dari pertanyaan Nur ini. "Oh, keluargaku baik, Yang. Papa, dosen seni musik. Mama, dosen sastra Sunda. Kehidupan keluargaku, ya lebih mengarah ke seni sih. Mereka orangnya santai. Kamu pasti suka sama mereka. Kapan-kapan ikut aku pulang ya?"
"Oh, gitu. Enak ya? Penuh cinta." Nur tersenyum.
"Iya, sih. Keluargaku baik. Bahkan dengan anaknya yang gak baik ini, mereka masih sangat baik sama aku." Ayah tambah heran dengan sikap Nur ini.
Namun, memang begitulah kehidupan keluarga ayah. Kakek Gun dan Nenek Setia adalah orang tua yang sangat baik. Sebelum menceritakan kisah ini, ayah pernah menceritakan masa kecilnya dulu padaku. Ayah adalah anak nakal. Sejak TK, ia sudah banyak bikin onar di sekolahnya. Saat ayah duduk di bangku Sekolah Dasar, ayah yang nakal itu semakin terlihat bakat nakalnya. Hingga, akhirnya kakek Gun harus rela menanggung malu karena ayah yang terpaksa dipindahsekolahkan. Gara-gara, saat ia menginjak kelas 3, ayah naik ke meja guru. Dengan tak sopan, ia pun mengentuti wajah si guru yang mana wali kelasnya. Guru itu marah besar kepada ayah yang memang sangat kurang ajar. Saking marahnya guru itu, ia sampai gelap mata. Melempar ayah dengan asbak kaca dari mejanya. Asbak itu mengenai paha ayah, kemudian jatuh ke lantai. Ayah memungut dan menyerahkan asbak itu kembali kepada gurunya. Maksud ayah baik. Namun, mungkin, apa yang dipikirkan gurunya beda. Mungkin, guru itu merasa semakin terhina. Menganggap ayah seperti menantangnya. Akhirnya, asbak kaca itu diterima sang guru. Dengan keji, asbak kaca itu dihujamkan ke kepala ayah berulang kali. Ayah hanya berteriak, ampun. Namun, guru itu tetap tak juga menghentikan aksi kejamnya. Sampai akhirnya darah mengucur di kepala ayah yang nakal. Ayah memegangi kepalanya. Tangannya berlumuran darah. Guru itu lari ke luar kelas terbirit, seperti ketakutan. Ayah pun begitu. Meski ia merasa sangat pusing, namun, tanpa tangisan, ayah pun ikut berlari ke luar kelas. Tasnya ia gunakan untuk menutupi kepalanya yang bocos. Ayah pulang ke rumah. Kakek Gun tak menyalahkan siapa pun atas kejadian ini. Ia hanya meminta pertanggungjawaban pengobatan ayah, kepada sang guru. Dan, masalah ini pun diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan santainya, kakek Gun malah meminta pihak sekolah memindahkan ayah ke sekolah lain atas prilakunya yang sangat memalukan ini. Menginjak SMP, ayah semakin menjadi-jadi. Ia sudah mulai ngeband, masuk geng motor, dan sering sekali bolos sekolah. Di masa ayah SMP, kakek Gun harus sering wara-wiri dipanggil pihak sekolah atas kenakalan anaknya. Mungkin, dalam satu bulan, kakek Gun bisa dipanggil dua sampai tiga kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."