Tak sampai dua ratus meter dari tikungan tadi, pagar rumah Beno pun terlihat. Ayah menghampirinya. Kelakson vespa kembali ayah bunyikan tepat di depan pagar. Beno yang ayah cari pun keluar menghampiri.
"Masuk, Ple, Nur!" Serunya. Membuka pagar.
"Enggak, joy. Aku langsungan aja. Takut kemaleman nyampe Jogja. Oh, iya, bilangin juga sama si Angga, Dimas, maaf kalau gak bisa nemuin dulu. Makasih banyak ya, aku pamit." Ayah hendak menyalami lengan Beno.
"Lah, buru-buru banget? Bentar dulu." Beno menolak uluran tangan ayah. Ia melangkah, kembali masuk rumah.
Ayah heran akan tingkah Beno ini. Ia saling tatap dengan Nur di jok belakang sembari seragam mengangkat bahu. Sepuluh menit berlalu. Beno kembali, menjinjing sesuatu di genggamannya.
"Apa itu?" Tanya Nur, sesaat setelah Beno berdiri kembali di hadapan vespa ayah.
"Oleh-oleh buat kalian." Beno menyerahkannya kepada Nur.
"Buat kita, apa buat Cuple aja?" Nur meraih jinjingan yang disodorkan Beno.
"Buat kalian. Itu tahu gimbal dari ibu."
"Awas ya kalau kasih oleh-oleh ke Cuple lagi!"
"Dia tahu po, Ple?" Beno menepuk jidat.
"Ketahuan, joy." Ayah tertawa.
"Marah?"
"Kamu marah gak, Yang?" Ayah menyikut lengan kekasih di belakangnya.
"Mengaplikasikan apa yang tidak kita sukai itu tak perlu dengan amarah." Jawab Nur. Tegas.
Beno dan ayah pun tersenyum.
"Kita pamit ya, Ben? Next time kita main lagi ke sini. Makasih banyak loh." Ayah kembali mencoba menyalami Beno.
Beno meraih jabat tangan ayah. "Iya. Hati-hati ya? Jangan kapok main ke sini lagi."
"Siap." Ayah menyalakan mesin vespa.
Vespa pun melaju dengan kelakson yang kembali dibunyikan dua kali, beserta senyuman ayah berpamit diri. Sepanjang perjalanan, ayah hanya terdiam. Ia masih menelaah kembali apa yang dikatakan Nur tadi. Nur memang tak pernah suka dengan ayah yang masih menggunakan barang terlarangnya. Namun, apa iya ayah harus berhenti? Barang itu telah menemani ayah jauh sebelum Nur menemaninya. Barang yang selalu ayah cari sebagai teman sedihnya, kecewanya, bahkan jika tengah buntu pikiran. Dan, memang untuk apa lagi jika bukan untuk menunjang segala kreativitas dalam karyanya. Barang itu telah menjadi bagian dari hidup ayah. Pikir ayah. Satu jam perjalanan, ayah terus memikirkan hal tersebut. Hingga kekasihnya pun menggelitiki pusarnya.
"Ih, kamu kebiasaan kalau lagi di jalan. Kenapa sih, Sayang? Nanti jatuh atuh ih."
"Abisnya kamu kayak yang ngelamun bawa motornya."
Entah insting dari mana, Nur selalu saja tahu jika ayah tengah memikirkan sesuatu. Bahkan, ia bisa tahu meski ayah tengah membelakanginya seperti sekarang ini. Atau memang bisa jadi, spion vespalah yang menjadi alat perantaranya? Ya, mungkin Nur bisa mengetahui ekspresi ayah setelah ia menatap spion vespa ayah.
Selepas dari rumah Beno ayah memang sengaja mengambil jalur selatan kembali. Tak mengambil arah kota. Jalur yang sama seperti awal keberangkatan mereka. Dengan alasan, agar perjalanan lebih sejuk dan tak terlalu banyak kendaraan.
"Kok jarang ada rumah makan ya, Yang?" Ucap ayah.
"Siapa yang mau buka? Hutan kayak gini. Kamu mau makan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."