Ayah kira itu masih Abaw ataupun Ipin. Ayah sempat tak memedulikannya. Rupanya bukan. Itu Nurhayati.
"Yang, buka! Ini aku." Ucap Nur. Nada bicaranya seperti panik.
'Yang?'. Ayah girang mendengar kata itu kembali terucap dari bibir Nur. Perasaan senang bukan kepalang yang mengetahui Nur datang, ia lekas membuka pintu kamarnyanya.
Sesaat setelah pintu kamar itu terbuka, Nur pun langsung melompat, memeluk ayah yang kondisinya sudah lebih dari kata mengkhawatirkan. Mungkin, sudah bisa dibilang seperti mayat hidup kondisi ayah saat itu.
"Kamu makan cepet!" Nur membuka beberapa wadah yang ia bawa.
Itu adalah masakannya. Masakan yang biasa ia bawa selama ini, sebelum terucap kata perpisahannya dengan ayah. Nur pun menyuapi ayah. Ayah begitu terharu dibuatnya, meski air matanya memang tak bisa menetes.
Seusai menyuapi ayah itu, Nur kembali memeluk ayah. Ia menangis. Ayah membalas pelukannya dengan rasa sakit yang amat dalam dirasakannya.
"Kamu sayang aku?" Tanya ayah.
"Sayang banget, Yang." Jawab Nur, di tengah air mata yang telah mengalir deras.
"Jangan nangis!" Ayah mengusap air mata Nur. Menicumi kedua matanya. "Aku gakpapa kamu pergi. Tapi, asal kamu tahu, aku bakalan dateng ke rumah buat ngelamar."
"Besok aku pergi. Banyak banget faktor yang gak bisa aku jelasin, Sayang. Intinya aku harus tinggal di Semarang. Aku pengen ngerawat kedua orang tuaku. Mereka akan bertambah tua. Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau ngerawat dan ngurusin mereka? Aku sayang banget sama kamu. Aku harap, emang kamu yang datang buat ngelamar aku besok. Tapi, aku minta maaf. Maaf banget, Sayangku, Aku minta maaf kalau ada orang yang datang sebelum kamu, dan orang itu bisa tinggal di Semarang, aku bakalan terima orang itu. Aku udah terlanjur gila dengan hidup ini. Aku udah gak peduli tentang cinta dan kasih sayang. Toh selama ini pun, selama hidupku, aku gak pernah bisa dapetin itu semua. Aku hanya ingin sisa hidupku didedikasikan untuk kedua orang tuaku."
Ayah tertegun mendengar semua itu. "Aku pasti datang, Sayang. Aku janji. Aku yang akan datang."
"Iya, Sayang, semoga aja. Aku gak bisa balikan sama kamu kalau status kita masih pacaran. Aku gak bisa. Kamu ngerti kan maksudku? Pacaran itu masih dalam konteks seperti main-main, Sayangku."
"Iya, tapi hubungan kita gimana?"
"Hubungan kita tetap seperti ini. Aku bakalan nunggu kamu di sana. Aku bakalan baik-baik di sana. Asal, kamu harus janji, kamu harus selalu hubungin aku. Kasih kabar di mana pun kamu berada. Kasih kabar apa pun kegiatanmu. Biar aku gak khawatir. Aku sayang banget sama kamu." Air mata Nur kembali deras mengalir.
"Iya, Sayang, aku janji. Aku bakalan sering telepon kamu, aku bakalan kabarin kamu terus. Aku gak keberatan, dan aku ngerti banget dengan keputusan kamu ini. Aku juga sayang banget sama kamu. Ini udah jadi tugasku. Aku bakalan berusaha untuk datang ke rumah secepatnya." Ayah memeluk Nur. Mencium ubun-ubun dan keningnya.
Hari semakin larut malam. Kiranya, sudah pukul 24:00. Nur pamit. Sang ibu sedang berada di kost Nur. Ia hendak pulang bersama anaknya esok pagi, membuat Nur pun harus segera kembali ke kostnya. Ia tak enak kepada sang ibu. Namun, sebelum Nur meninggalkan kontrakan ayah, ia sempat meninggalkan beberapa barang di kontrakan. Di antaranya, sandal, alat shalat, alat masak, dan beberapa pakaiannya.
"Aku simpen ini di sini ya? Nanti, kapan-kapan, kalau aku ke Jogja, kalau aku nengokin kamu ke sini, aku gak perlu repot bawa banyak barang dari sana."
"Iya, Sayang. Kamu hati-hati dan baik-baik ya di sana? Kamu jangan sakit-sakitan. Kamu jangan lupa sama aku!"
"Iya, Sayangku. Aku pamit ya? Maaf kalau besok aku gak sempet mampir ke sini dulu, soalnya aku sama ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."