Hati ayah begitu kacau pagi itu. Cemburu, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya. Namun, mungkin lebih dari itu, sebab amarah, sakit, kecewa pun ikut tercampur dalam hati dan pikirannya. Apalagi, jika dihubung-hubungkan dengan apa yang sedang Nur derita saat ini. Selama dua minggu Nur selalu bertemu dengan dosen itu. Bimbingan skripsinya. Saat ini Nur mengeluh mual, sakit perut, dan demam. Sebelum ayah menemukan pesan ini, ayah sempat berpikir bahwa gejala yang dialami Nur merupakan tanda-tanda wanita yang sedang mengalami kehamilan. Pikiran ayah semakin tak karuan. Apa mungkin Nur ada main dengan dosen tersebut selama dua minggu ini, sampai-sampai dosen tersebut menyelipkan uang di skripsinya, di dalam amplop, sampai-sampai Nur menderita gejala yang hampir mirip dengan seorang wanita yang mengalami kehamilan? Semua itu bisa saja terjadi. Pikir pendek ayah.
Tak ingin lebih larut dengan apa yang sedang dipikirkannya, ayah pun mematikan dan menyimpan kembali ponsel itu ke dalam tas Nur. Ia langsung membayar apa yang ia pesan. Dengan tersungut di dalam hati, ayah kembali menuju kamar tempat di mana Nur dirawat. Perasaannya dipenuhi rasa kecewa dan sakit hati mendalam. Ayah sungguh tak menyangka.
Setiba di ruangan tempat Nur dirawat, ruangan masih kosong. Namun, setelah sepuluh menit kemudian, Nur pun kembali. Ia telah selesai dicek urine.
"Kamu katanya ngopi?" Tanya Nur. Kembali naik ke atas ranjang.
"Iya, tapi udah. Gimana hasilnya?" Ayah ingin tahu apa yang sebenarnya Nur derita. Untuk memastikan prasangka, dan berharap prasangkanya itu salah besar.
"Belum, Yang. Kata dokternya, nanti siangan baru ketahuan hasilnya."
"Oh, aku gak bisa nunggu nyampe siang."
"Iya, kamu pulang dulu aja, kasihan belum tidur. Tapi beliin lontong opor dulu ya? Di tempat yang biasa kita sarapan itu loh? Aku gak mau makan bubur rumah sakit."
"Kamu beli sendiri aja ya?" Ayah menaruh tas Nur yang masih digenggamnya. "Aku pulang." Ia melangkah, keluar dari ruangan tempat Nur dirawat.
"Kamu kenapa sih, Yang?" Nur yang berusaha berteriak dengan suara parau dan lemah.
Ayah tak memedulikannya. Ia tetap melangkah dengan hati dan pikiran yang amat kacau. Sepayah apa pun ayah dalam urusan asmara, aku rasa ia tak akan sejahat itu, yang tega meninggalkan kekasih yang tengah terbaring sakit. Namun, ya sebab prasangkanya inilah yang membuatnya tega berbuat seperti itu. Dan, jangankan lontong opor, sate kelinci di Kaliurang sekalipun mungkin sudah ayah belikan bila tak seperti ini.
Ayah melangkah menuju parkiran, meraih vespa. Pria jahat yang tega meninggalkan kekasih yang tengah sakit pun memacu laju vespa dengan sangat kencang.
Setibanya di kontrakan, ayah langsung mencari barang terlarangnya. Pikiran negatif terhadap kekasihnya sangat mengganggunya. Ia ingin sedikit lebih tenang dengan menggunakan barang terlarangnya. Satu batang telah selesai dibuatnya. Ia olesi madu agar sedikit menyamarkan aromanya. Ayah hisap dan nikmati barang itu sembari ditemani lagu-lagu Nirvana, beraliran grunge yang diputar di pemutar piringan hitam. Ayah terus mencoba mengusir apa yang tengah ada dalam hati dan pikirannya. Dengan barang terlarangnya, perasaannya sedikit membaik. Ayah merasa lebih tenang.
Tak sampai satu batang, barang terlarang itu akhirnya ayah puntungkan. Ia simpan kembali di tempat biasa ia menyimpannya, di balik poster raksasa berpotret John Lennon. Pagi itu, dengan perasaan yang telah sedikit membaik, setelah menggunakan barang terlarangnya, ayah pun memilih untuk memejamkan kedua matanya. Ia tertidur, berharap ada kabar baik setelah ia terbangun nanti dari kekasihnya, Nurhayati.
Pukul 14:00, sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel ayah. Ponselnya berdering hebat karena panggilan masuk dari nomor tersebut yang membuat ayah pun terbangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."