#27

5 0 0
                                    

 Hari berganti hari, terus berulang. Ayah menjalani hari-harinya dengan penuh kebebasan. Abaw dan Ipin telah kembali. Hari-hari ayah tak pernah sepi. Dengan senangnya, ayah bisa kembali mengujungi teman-teman yang sudah lama tak ia kunjungi. Seperti Gail, Daday, Mero, Jak, ataupun Uyung. Kemerdekaan sangat ayah rasakan.

  Hari ini, tepat 14 hari setelah ayah melepas kekasihnya, hari ini ia pergi menyambangi tempat kediaman Uyung. Pukul 16:20, kiranya ayah memacu laju vespa menuju tempat Uyung. Dua puluh lima menit, ayah dalam perjalanannya. Sebenarnya, normalnya hanya memakan waktu lima belas menit sedari kontrakan ayah menuju kediaman Uyung itu. Namun, karena memang Uyung yang kini sudah tak lagi tinggal di kostan, yang mana tepat tiga bulan lalu katanya ia pindah ke sebuah rumah kontrakan, yang membuat sepuluh menit sisa perjalanan itu ayah gunakan untuk berkeliling mencari alamat rumah kontrakan Uyung. Dan, memang cukup rumit untuk menemukannya. Rumah kontrakan Uyung itu harus memasuki beberapa gang komplek perumahan yang membuat ayah sering tersasar.

  Setibanya di sana, belum selesai ayah memasang standar dua vespa, Uyung sudah lebih dulu membuka pintu kontrakannya. Mungkin, karena ia sudah begitu hafal suara knalpot vespa ayah.

"Sehat, bosku?" Ayah menyalaminya, setelah vespa ayah berdiri tegak, terparkir.

"Lebih baik dari hari kemarin, Ple." Uyung menjabat uluran tangan ayah. "Masuk!"

  Ayah memasuki rumah kontrakan Uyung. Ia dibuat sedikit terkesiap dengan suasana rumah kontrakan yang sepi. Uyung seperti tinggal seorang diri di rumah itu. Apa mungkin Uyung sudah tak punya teman? Gumam ayah dalam hatinya. Akhirnya, ayah duduk di salah satu sofa sembari tak henti menyasar situasi rumah yang sepi.

"Kopi, Ple?" Tawar Uyung.

"Eh, boleh, joy."

  Uyung melangkah, yang mungkin menuju dapur, sebab ia berjalan memasuki pintu ke arah bagian belakang rumah.

  Tak lama, Uyung yang menawari kopi tadi, hanya butuh dua puluh detik waktu untuknya kembali dengan tak segelas kopi pun yang ia bawa dalam perjalanan kembalinya. Uyung duduk di samping ayah. Raut muka datar yang seperti banyak pikiran, ia menarik napas panjang, menatap ayah.

"Bajingan, Ple, berapa lama ya kita gak ketemu?" Uyung memecah hening.

"Setahun, ada kayaknya, joy? Terakhir kamu ke kontrakan pas aku KKN itu kan?"

"Oh, iya, setahun ya, Ple? Tapi rasanya kayak lama banget."

"Terlalu banyak kejadian dalam waktu setahun ini?"

  Uyung diam. Bengong.

"Kamu nelen kimia apa lagi sih?" Tanya ayah, yang memang sudah sangat tersohor dalam benak ayah jika Uyung adalah kimia, dan kimia adalah Uyung.

  Belum sempat terjawab pertanyaan ayah tadi, seseorang datang mengantar dua gelas kopi. Itu Dina. Perempuan yang sangat Uyung cintai, perempuan yang dijadikan alasan Uyung saat berpamit dari kontrakan ayah setahun yang lalu untuk menjemputnya.

  Pertanyaan pertama saat ayah baru tiba tadi itu terjawab. Rupanya Uyung tinggal berdua bersama Dina di rumah kontrakan itu. Namun, pertanyaan berikutnya muncul di benak ayah. Apa hanya karena ingin tinggal bersama Dina yang membuat Uyung pindah dari kostan dan memilih rumah kontrakan?

  Dina lekas duduk di samping Uyung setelah menata dua gelas kopi yang dibawanya tadi di atas meja.

"Karena wanita ini, Ple, gua berhenti dari kimia."

"Udah tahu." Ayah tertawa. "Dari dulu juga kalau di depan Dina kamu gak berani make. Ya, apalagi sekarang, udah tinggal serumah."

"Bener, Ple, gua dari dulu takut Dina tahu."

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang