Mungkin langit Jogja sedang kasmaran. Sore itu langit sedang bagus-bagusnya. Berwarna jingga kemerah-merahan. Ayah memacu laju vespanya. Jalanan macet total. Lengan ayah dibuat pegal karena harus menahan kopling vespa terus menerus. Dengan lihai, ayah memacu laju vespa melewati kemacetan lalu lintas kota Jogja. Sekitar setengah jam, ayah di jalanan sore itu. Setengah jam berlalu. Ayah tiba di kost kekasih Bendot. Mengetahui suara vespa ayah, kekasih Bendot pun keluar. Ia langsung mempersilakan ayah masuk. Ayah masuk. Terlihat, Bendot tengah sibuk dengan gambarnya.
"Ah, keren, Dot." Ayah menyapanya.
"Eh, Ple. Sendiri?"
"Sendiri aja, Dot, lah. Ramean mah takut dikira mau ikut pengajian." Ayah tertawa. "Ada yang bisa dibanting?"
"Maksudnya gak sama cewekmu, Ple?" Kekasih Bendot ikut menanggapi.
"Oh, enggak. Dia BL, katanya."
"BL apaan, Ple?" Tanya Bendot.
"Oh, iya, aku juga gak tahu, Dot. Kok aku asal ngizinin dia aja ya?"
"Lah?" Kekasih Bendot tertawa. "BL itu senam Body Language. Semacam aerobik gitu, Ple."
"Nah, itu, Ple. Kamu anterin, Ple?" Tanya Bendot kembali.
"Enggak, Dot. Dia jalan sendiri."
"Ah, payah. Padahal mah sekalian cuci mata, Ple? Seksi-seksi itu pasti." Bendot tertawa.
"Mana yang mau dibanting nih?" Ayah menanyakan apa yang bisa ayah bantu.
Bendot pun menjelaskan sketsa gambar itu kepada ayah. Setelah itu, ayah segera meraih cat dan kuas di lengan kiri dan kanannya. Sebelum ayah mulai menggambar dinding itu, ia berucap sesuatu.
"Nih, Dot, kuas di tangan kanan, cat di tangan kiri." Ayah mengacungkan kuas dan cat yang tengah digenggamnya.
"Terus, Ple?"
"Nah, kalau jodoh, di tangan hansip." Ayah tertawa lebar. "Makanya, jangan suruh sering-sering si Bendot main ke sini, Neng! Nanti ada hansip!"
Bendot dan kekasihnya seragam tertawa.
Sore itu, ayah habiskan sore harinya dengan menggambar di dinding kamar kekasih Bendot hingga petang menjelang. Seperti biasa, ayah tak pernah menghubungi Nur, kekasihnya. Jangankan bila ia sedang ada kegiatan, bila ia sedang santai pun, ayah tak pernah menghubungi Nur terlebih dulu. Setelah gambar itu selesai, barulah ayah membuka ponselnya. Beberapa panggilan masuk dan beberapa pesan dari Nur menghiasi layar pemberitahuan ponsel. Setelah mengetahui itu, barulah ayah menelepon balik Nur, kekasihnya. Tak butuh lima detik, panggilan telepon itu diangkat oleh Nur.
"Apa?" Dengan nada tinggi, Nur mengangkat telpon ayah.
"Kamu ada apa telpon?" Dengan santai, ayah menjawabnya.
"Ih, kamu idiot banget! Ya, mau tahu kabar calon suaminya lah. Emang kamu, gak pernah mau tahu kabar aku! Udah gak kuliah lagi. Aku kesel banget sama kamu." Gerutu Nur.
"Oh" Ayah tertawa "Kirain kenapa. Aku lagi gambar sama Bendot, Sayang. Tapi, bentar lagi pulang. Kamu udah beres BLnya?"
"Udah dari tadi. Sok-sokan nanyain BL lagi."
"Besok-besok kalau mau BL aku anter jemput aja ya?"
"Dih, udah gini, baru sok baik!"
"Bukan gitu. Kata si Bendot, katanya, biar bisa cuci mata." Dengan polosnya, ayah nyengir.
"Bangke ih, kamu! Jangan sejujur itu kek! Bilang, 'Sayang, aku kasihan kamu berangkat sendiri terus. Takut ada apa-apa di jalan kek' ih, kamu mah! Aku udah seneng-seneng kamu mau anter jemput. Alesannya malah gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."