Kontrakan pagar biru, pukul sebelas siang. Ayah masih terjaga sedari selesai menjalankan ibadah shalat subuh tadi. Ia masih menunggu kabar akan Nurhayati. Pada saat itu, ponsel ayah menyala. Ploopp.. ploopp.., berbunyi, tanda pesan masuk. Terdapat nama Nur dari si pengirim pesan. Namun itu bukan Nurhayati. Melainkan ibunya. Ayah memberi nama kontak ibu Nur dengan nama Mama Nur.
Apa isi pesan ibu Nur itu? Seperti ini lah kiranya isi pesan tersebut;
"Nak Cuple, mohon maaf, mungkin sekarang nak Cuple gak perlu lagi menghubungi Nur. Semalam, mungkin jam sembilan, ada orang melamar Nur. Nur menerima lamarannya."
Ayah tahu. Ayah sudah tahu bahwa memang ini kejadian yang ada di pikirannya semalam. Ayah tahu, sebab sebelum Nur pergi meninggalkannya, ia berucap; 'Aku minta maaf kalau ada orang yang datang sebelum kamu, dan orang itu bisa tinggal di Semarang, aku bakalan terima orang itu. Aku udah terlanjur gila dengan hidup ini. Aku udah gak peduli tentang cinta dan kasih sayang. Toh selama ini pun, selama hidupku, aku gak pernah bisa dapetin itu semua. Aku hanya ingin sisa hidupku didedikasikan untuk kedua orang tuaku.'
Dan, semalam memang kondisinya seperti itu. Alasan apa lagi yang membuat Nur tak mau membalas pesan-pesan ayah? Alasan apa lagi yang membuat Nur tak mau mengangkat berpuluh-puluh panggilan telepon ayah? Ayah sudah tahu bahwa ini kejadiannya. Memang ini yang dipikirkan ayah semalam. Namun, pesan ibu Nur itu membuat ayah hancur. Dunia seperti runtuh. Dunianya berakhir. Pesan itu telah membunuhnya. Melenyapkan kehidupannya. Walau ayah sudah tahu bahwa kejadiannya seperti itu, tapi itu hanya dalam bayangannya saja. Ia hanya menerka-nerka. Mengapa pesan itu membuat semuanya menjadi nyata? Mengapa pikiran ayah semalam direalisasikan oleh pesan dari ibu Nur ini?
Seketika ayah tergeletak di kamarnya. Tak berdaya, tubuhnya terasa lumpuh dan mati rasa. Ia hanya bisa merasakan kekecewaan dan rasa sakit yang amat luar biasa. Hancur sudah semua pengharapan. Sia-sia semua perjuangan. Tak ada lagi Nurhayati yang selalu menyayanginya. Tak ada lagi Nurhayati yang selalu mengurusinya. Yang selalu duduk di jok belakang vespa, menggelitiki perutnya, menjitaknya, memeluk tubuh ayah, menemani hari-hari ayah. Nurhayati telah menerima lamaran orang lain. Ia benar-benar telah memilih pergi dari kehidupan ayah. Padahal ayah tengah berusaha, bersusah payah untuk memerjuangkannya. Ayah telah merubah semua prilaku di hidupnya. Dan, yang paling penting, padahal ayah belum sempat membalas semua yang telah Nur berikan kepadanya dulu. Baik kasih sayang, perhatian, ataupun perjuangannya dalam memerjuangkan hubungannya bersama ayah. Ayah belum sempat membalas semua itu.
Saat itu, ayah benar-benar membenci Tuhan. Ia membenci shalat dan semua unsur agamanya. Bagaimana tidak? Setelah ayah berusaha keras meminta pertolongan Tuhan, meminta agar Tuhan bisa memerbaiki hubungannya, ia telah berusaha keras berlajar shalat, menghafal do'a shalawat, dengan begitu khusyuk dan tekun ia memanjatkan do'a-do'a yang ia pinta, bahkan ayah sampai pergi ke rumahNya untuk beribadah shalat subuh berjamaah dan mengumandangkan adzan, dari semua usaha ayah itu Tuhan justru menjawab dengan jawaban yang paling buruk menurut ayah.
Ayah tertegun, membisu. Ia pandangi gambar corat-coret doramini. Di sana Nurhayati menggambarnya dulu. Ia pernah merusak wallpaper dinding kamar ayah di sana. Di karpet itu Nur selalu duduk. Membawa masakannya, menyiapkan masakan itu untuk ayah, dan menikmatinya bersama. Setiap hari Nur selalu ada menemani ayah, mengurusi ayah, bahkan sampai berhasil merehabilitasi ayah.
Ayah menatap barang-barang yang Nur tinggalkan. Potret terbaiknya. Mengenakan gaun dan sepatu kaca, rambutnya dicepol kesukaan ayah. Pakaian, alat shalat, alat masak, dan sandal, untuk apa semua itu ia tinggalkan? Untuk apa semua itu? Untuk ia gunakan jika ia kembali ke kota ini bukan? Agar tak terlalu banyak barang bawaan jika ia hendak menjenguk ayah kan? Sekarang mana orang itu? Mana Nurhayati? Mana orang yang dulu membuat gambar coretan Doramini di kamar ayah? Mana orang yang dulu merusak wallpaper dinding kamar ayah? Mana orang yang menemani ayah saat ayah kecelakaan hingga ayah tertidur di pangkuannya? Mana orang yang selalu membangunkan ayah, mengantar makanan, mengurusinya, menemani hari-hari dan semua kegiatan ayah? Di mana orang itu sekarang? Di mana orang yang selalu ayah panggil sayang? Mana si Ayam? Mana orang yang pernah berjanji untuk takan meninggalkan ayah? Orang yang pernah berjanji untuk selalu bersama ayah, bahkan orang yang pernah berjanji akan kembali dan menjenguk ayah saat ia hendak meninggalkan ayah dan kota Jogja ini?
Orang itu telah benar-benar pergi. Orang itu sudah benar-benar takan kembali. Nur memang telah sempurna pergi, namun bayangnya selalu ada di setiap sudut kamar ayah, di setiap sudut kontrakan ayah, bahkan di setiap sudut kota Yogyakarata.
Hingga, ayah tak kuasa. Ayah tak kuasa tinggal dan menatap kamarnya. Ayah tak kuasa berada di kontrakan dan di kota Jogja ini. Ayah beranjak. Ia mengemasi pakaian. Tak tahu apa rasanya ini. Apa memang patah hati itu sesakit ini? Apa memang rasanya jauh menggelapkan diri melebihi saat ayah mengonsumsi alkohol dan narkotika? Ayah benar-benar tak sadarkan diri saat itu. Ia tak tahu sedang apa ia. Ia tak tahu apa yang sedang dirasakannya. Ayah melangkah, hendak menuju parkiran, meraih vespa untuk meninggalkan kota Jogja.
"Ple, jangan, Ple! Jangan pake motor!" Ipin menahan langkah dan tubuh ayah tepat di hadapan pintu kontrakan. Mungkin Ipin sudah tahu apa yang tengah terjadi dengan sahabatnya ini.
"Emang kanapa, anjing? Kamu takut aing mati? Kamu takut aing kecelakaan? Buat apa juga hidup kalau kayak gini mah, O? Buat apa, anjing? Buat apa aing kudu hidup dengan rasa sakit yang seperti ini, IO?" Teriak Ayah. Berontak dari Ipin yang menahannya. Amarah yang tersulut, ayah mengepalkan jari tangannya.
"Urang ngerti, Ple. Urang ngerti. Pukul urang, Ple! Sok pukul! Pukul, Ple, kalau emang eta bisa sedikit nenangkeun kamu." Ipin memamerkan wajahnya.
Tanpa menunggu komando apa pun, ayah lantas memukul wajah Ipin di hadapannya. Ipin terpental, jatuh ke lantai. Hidung dan bibirnya berdarah akibat pukulan itu. Ayah tertegun menatap Ipin. Kemudian ia memandangi jari tangan yang masih mengepal. Ayah tak sadar telah memukul sahabatnya.
"O, hampura, O. Urang teu sengaja, O." Ayah meminta maaf. Merangkul Ipin, membantunya kembali berdiri.
"Teu nanaon, Ple. Teu nanaon." Ucap Ipin yang berkata, tak apa. Ia memegangi bibir dan hidung yang berdarah.
Ayah lantas memeluk Ipin. Kali ini si anti melankolis deras menangis. "Si Nur, O? Si Nur lamaran tadi malem jeung batur. Urang sayang ka si Nur, O. Urang serius. Tapi, kunaon pas urang dapet cewek yang urang sayang, urang serius, cewek eta malah kieu ka urang, O?" Ucap ayah dengan tangisan amat deras. Ia berkata kepada Ipin, bahwasanya Nur telah menerima lamaran orang lain. Padahal ayah sangat serius dan menyayanginya. Dan, kenapa saat ayah telah menemukan perempuan yang sangat ia sayangi dan ia seriusi kejadiannya malah harus seperti ini?
Ayah adalah sosok sahabat yang dikenal Ipin dengan watak urakan, slengean, yang anti melankolis, tak pernah peduli, selalu acuh tak acuh dengan urusan asmara. Namun, kali ini, di hadapannya, sahabatnya itu justru menangis sendu karena asmara. Kata ayah, sehebat apa pun manusia, sejago apa pun ia berkelahi, ia mabuk-mabukan, professor dan doktor mana pun, mereka takan ada apa-apanya di hadapan patah hati.
Akhirnya, Ipin yang tengah menemani ayah atas keterpurukannya itu, ia pun sembari menelepon, memesankan mobil travel untuk kepulangan ayah menuju kampung halamannya. Ia tak ingin sesuatu buruk terjadi jika sahabatnya ini mengendarai vespa dengan kondisi hati yang tengah seperti ini.
Hari itu juga ayah pulang ke kampung halaman. Menggunakan mobil travel yang telah Ipin pesankan. Ayah tiba di kampung halamannya sekitar pukul 20:00.
Setibanya di sana, ayah tak langsung menuju rumah. Ia mampir terlebih dahulu, menyambangi teman lamanya yang tak bisa aku ceritakan siapa orang ini. Di sana ayah memesan beberapa jenis narkotika.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR II
RomanceLanjutan dari ELEANOR "Aku kangen banget, Yang. Tunggu aku di sana ya? Nanti, di sana, kita bisa sama-sama lagi. Hidup bahagia di kehidupan yang maha hidup. Kekal."