#12

13 2 0
                                    

  Dua jam berlalu. Api masih mengunggun meski kobarnya tak segarang seperti saat dua jam sebelumnya. Rembulan masih bundar seutuhnya. Bintang-bintang kian banyak bertebaran, berkerlip menghiasi langit malam pantai Pacitan. Ayah dan teman-temannya tengah berleyeh-leyeh di hadapan api unggun. Meluruskan kaki, dan masih asyik bercengkrama. Namun, Ogi keluar dari lingkaran api unggun itu. Ia beranjak, melangkah ke arah pintu penginapan, memasukinya. Hanya dua puluh detik setelah tubuh Ogi lenyap ditelan pintu penginapan, pintu itu mengeluarkan Ogi kembali dengan beberapa kembang api di pelukannya. Rupanya, sekarang saatnya acara pesta kembang api. Meski kurang lebih masih satu setengah jam pada waktu pergantian tahun, namun rupanya mereka sudah tak sabar untuk segera meledakan kembang api kembang api itu. Ogi membagikan satu per satu kembang api di pelukannya. Setiap orang dengan satu kembang api. Ayah menggenggam kembang api miliknya. Nur, kekasihnya pun serupa, berdiri di samping ayah. Namun, bukan hanya Nur dan ayah saja yang bersebelahan. Ada pemandangan yang membuat ayah cukup terheran. Entah sengaja atau tidak, rupanya Tama dan Tysa pun berdiri bersebelahan. Namun, tetap dengan kekasih mereka masing-masing di sisi lainnya.

"Bikinin puisi buat tahun baru dong!" Pinta kekasih ayah. Berbisik di sampingnya.

Ayah masih menatap Tama dan Tysa. "Gak ada. Ada juga puisi buat mereka." Tatapan ayah menunjuk Tama dan Tysa. Menunjukan kepada kekasihnya.

"Puisi apa, Yang?" Nur tertawa.

"31 Desember - 1 Januari. Kasihan. Berdekatan, namun tak dalam satu ikatan." Ayah tersenyum, masih memandangi Tama dan Tysa.

Nur tertawa. "Jalan hidup orang siapa yang tahu." Jelasnya. Kemudian, memeluk ayah, kekasihnya.

"Tuhan memang Pembuat skenario terbaik." Ayah merangkul kekasih yang tengah memeluknya.

  Dua menit, pelukan itu terlepas bersamaan dengan komando Ogi untuk segera menyalakan kembang api yang telah berada di genggaman masing-masing temannya. Semua orang mengangguk, menuruti perintah Ogi. Ayah mengeluarkan korek api dari saku celana. Sementara, Ogi menghitung mundur. "3,2,1" Ogi selesai berhitung. Ayah menyalakan kembang api milik Nur terlebih dulu, lalu miliknya. Kembang-kembang api meletup, berserakan di langit. Bercaknya menghiasi pandangan ayah dan semua temannya. Meski tak segemerlap kembang-kembang api yang biasa ayah saksikan di kampung halamannya, namun ini pun cukup mengesankan baginya.

"Apa resolusimu, Sayang?" Bisik Nur kembali, setelah kembang api miliknya habis meletup.

"Aku? Gak ada. Aku gak pernah punya rencana."

"Loh?"

"Iya. Aku hanya menjalani hidup pada saat aku menjalaninya. Aku hanya ingin menikmati setiap saat di mana aku hidup tanpa harus dihantui oleh bayangan masa lalu ataupun rencana hari depan."

"Berarti kamu gak punya rencana buat mau jadi apa kamu nanti dong?"

"Aku gak pernah mau jadi apa pun, Sayang. Aku gak mau jadi siapa pun. Aku hanya menjalani hidupku sebaik mungkin. Melakukan apa yang ingin aku lakukan, dan semoga bisa lebih baik dari aku yang sebelumnya. Itu aja." Ayah tersenyum.

"Duduk sini!" Nur meminta ayah menyeragaminya, setelah ia duduk di hadapan api unggun kembali. "Ini omongan penting."

"Penting gimana?" Ayah menyeragami kekasihnya. Duduk di sampingnya.

"Kamu gak punya tujuan hidup, ini bahaya."

"Aku harus punya tujuan hidup? Aku harus hidup seratus tahun dengan memberi uang kepada istriku seratus juta perbulan? Yang akhirnya, aku mati-matian kerja untuk itu, sampai aku lupa diriku siapa? Sampai aku lupa harga diriku di mana? Dan, sampai aku lupa apa arti hidupku yang sebenarnya? Itu maksudnya, Yang?"

ELEANOR IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang