~7~

15.2K 993 5
                                    

Tanpa pikir panjang lagi aku melompat kegedung tempatnya berada. Jaraknya memang tidak terlalu dekat namun bisa dalam sekali lompatan jauh.

Bodoh!! Sudah ku bilang untuk keluar..

Kuturuni setiap tangga darurat menuju lantai apartemennya. Hancur!! Ruangan itu sudah hancur, tembok tempat pintu itu berada sudah terbuka, bahkan didinding yang dekat jendela menganga menampakkan jalanan dibawahnya. Kutelisik setiap jengkal ruangan tak berbentuk itu mencari sosok penyelamatku. Kali ini aku yang akan menyelamatkanmu.

Saat menengok kebawah kearah jalanan aku samar melihat sosok berpakaian hitam diantara puing bangunan.

"One..!!!" Syukurlah. Tanpa melihat ketinggian, aku melihat melompat turun mengahampirinya. Sepertinya sebelum bom itu meledak ia mencoba keluar tapi terhempas karena bersamaan dengan ledakan.

"Bodoh. Apa yang kau lakukan? Ini bukan waktunya tidur siang." Tubuhnya memang terjatuh dengan posisi terbaring diatas puing bangunan yang hancur.

"Aku tahu. Bantu aku berdiri." Sebelah alisku naik.
Setelah kulihat ada luka dipunggungnya. Seragam polisinya tak mampu menahan api ledakan, nampak beberapa luka bakar menganga.

"Ayo." Aku rangkulkan tangan kanannya kebahuku menuntunnya berjalan kearah ambulans yang sudah tiba. "Hei. Kau baik-baik saja?"

"Tcih.. Kau terlambat menanyakannya.. Seharusnya saat kau baru tiba tadi kau menanyakannya bukannya sekarang." Bodohnya aku.. tapi bisa kulihat sebuah senyum simpul terbit di wajah tampannya. "Sorry."

Degh. Degh. Degh.

"Kau baik-baik saja, One?" "Apa kau terluka, Eight?" Serempak, Alby pada Niel dan Niel pada Lucy.

Mereka baru saja datang. Oh God. Aku tahu situasi seperti ini. Jangan bilang sekarang aku berada didalamnya.

Ada sedikit rasa sesak di dada. Cemburu? Tidak. Tidak. Aku menggeleng pelan menepis pemikiran itu. Ku langkahkan kaki menjauh dari tim kearah lain.

"Mau kemana Fin?" Tanya Niel. Cih.. aku tak perduli. Tidak ada hubungannya denganmu. Tanpa menoleh sedikitpun aku terus melangkahkan kaki tak tentu arah.

Akhirnya aku menemukan tempat yang sesuai, sebuah taman dengan pemandangan kolam kecil ditengahnya. Ku dudukkan bantalan tubuhku dikursi dekat kolam itu. Sepatu yang membuat gerah ku lepaskan dari tempatnya, kucelupkan kakiku kedalam air kolam yang dingin. Hemm.. nyaman..
Sedetik kemudian air mata jatuh keatas pangkuanku membasahi rok mini yang kukenakan bersama jeans abu-abu.

Eehh.. apa ini? Kenapa rasanya sakit. Kugenggam erat kaus tipis yang membalut tubuh mungilku.
Mama.. apakah jatuh cinta begitu menyakitkan seperti ini? Jika aku tahu akan begini lebih baik aku tak pernah datang kesini dan mengalaminya.

"Kau baik-baik saja, Fin?" Sebuah tepukan dibahuku yang terbuka terasa begitu menyengat. Cepat-cepat kuhapus jejak air mata yang mungkin tertinggal.

"Emm....Iya. Hanya saja ada debu yang masuk kedalam mataku." Shit! Aku kelepasan. Ini sama saja kalau aku mengakui habis menangis. Berengsek kau Niel! Kau membuatku mengatakan hal-hal yang tidak perlu. Aku masih enggan untuk bertatap muka dengannya.

"Baiklah. Aku mengerti."

"Kau tidak percaya padaku?"

"Baik-baik. Aku percaya."

"Bagaimana lukamu? Apakah masih sakit?" Sekarang Niel hanya memakai kemeja biru tua yang menampakkan bentuk tubuhnya yang berotot.

"Ini.. Sudah tidak terlalu terasa. Mereka sudah memberikan obat. Emm..Fin?"

"Ada apa?"

"Bisakah kau memasakkanku makanan Indonesia lagi? Kau tahu sarapan terakhir kali itu rasanya sangat lezat, sepertinya aku jatuh cinta pada makananmu.. maksudku Indonesia."

Hmp.. Kukira dia akan mengatakan sesuatu yang penting.

"Boleh saja. Tapi apakah kita boleh pulang?"

"Tenang saja. Lucy yang akan mengurus laporannya."

Baiklah kalau begitu. Tunggu apalagi.. Lagi pula aku juga sudah lapar. Makanan disini masih terasa asing bagiku..

....

"Hei Fin? Bisakah kau membantuku mandi?"

Eh.. eeeeèeehhhh?
"A.. Apa yang kau katakan? Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan?" Dasar Niel bodoh. Bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu setelah makan malam. Wajahku sekarang terasa panas karena malu.

"Memangnya aku salah mengatakannya? Aku hanya memintamu membantuku untuk membersihkan punggungku. Aku tidak tahu dimana letak lukaku, itu sebabnya aku meminta bantuanmu. Kau tidak mau? Ya sudah kalau begitu.."

"Ti.. tidak. Tidak salah sama sekali. Sepertinya aku salah.."

Tarik nafas Fin.. jangan sampai wajah memalukanmu tampak dan membuatnya mengejekmu nanti, khayalanku sudah keluar kemana-mana.
"Memang kau memikirkan apa? Jangan-jangan.." sial, Niel mengeluarkan smirknya, wajahku pasti akan memerah terus karenanya. Dengan susah payah aku menelan salivaku kasar.

"Tidak.. kau minta dibantu, kan? Kalau begitu ayo.." elakku.

Setelah dilihat lebih dekat, punggung Niel bukan hanya ada otot-otot kekar saja. Kulit putihnya penuh dengan bekas luka yang hampir memudar. Banyak sekali, sekilas akan terlihat seperti peta sungai. Ada beberapa lebam kebiruan disana. Justru aku yang meringis merasakan luka sebanyak itu ketika melihatnya.

"Hei Niel. Apa yang membuatmu begitu berani memutuskan untuk menjinakkan bom tadi?" Tanganku tak berhenti mengoleskan obat pada lukanya. Sesekali ia akan meringis kesakitan karenanya.

"Tidak ada. Aku hanya berpikir bisa melakukannya tapi ternyata tidak." Ada sedikit nada kecewa dalam pengucapannya.

"Tapi syukurlah tidak ada yang terluka parah. Kecuali dirimu.." cicitku pelan. "Apa kau mengkhawatirkanku?" Kepalanya menoleh kearahku dibelakangnya.

"Ma.. mana mungkin. Kau adalah agent terbaik. Untuk apa mencemaskanmu.. meskipun kali ini sepertinya kau gagal." Kini giliran perban ku lilitkan dilukanya agar tak menyentuh bajunya.

"Yah. Kau benar. Aku adalah yang terbaik. Tidak perlu mengkhawatirkan ku." Degh.. mengapa rasanya sakit sekali mendengar kata-katanya?

"Apa kau akan bekerja besok?" Pembicaraan ini tidak boleh diteruskan terlalu lama.

"Iya. Jika aku meminum obatnya besok pasti akan lebih baik." Kulihat dia menelan beberapa pil obat.

"Apa kau tidak terlalu memaksakan diri?"

"Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Baiklah kalau kau memang bilang begitu. "Kalau begitu aku kembali. Selamat malam."

Degh. Degh. Degh. Degh.
Degh. Degh. Degh. Degh.

Kuremas dadaku yang terasa sesak. Jantungku memompa darah lebih cepat membuat nafasku memburu. Keringat dingin terasa mengalir dipelipis mataku.

Shit! Efek obat itu membuatku tersiksa, untung saja baru terasa sekarang. Jika tidak, aku pasti menunjukkan wajah berantakan didepan mereka. Aku membaringkan tubuhku di ranjang sembari memijat pangkal hidung yang terasa berdenyut.



Maafkan bagian part yang gaje ini ya.. 😄😄

Arigatou...

Great Agent and Genius Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang