04. Beban Hutang

29.2K 2.3K 165
                                    

"Terimakasih karena sudah mau menunggu, Nyonya Choi." Aku meletakkan secangkir kopi hitam di hadapannya, si wanita bertubuh gempal yang selalu menagih hutang itu.

Ia mengangguk, menyesap kopinya dan menatapku lagi, penuh arti.

Aku yang mengerti pun langsung memberinya amplop cokelat dengan sejumlah uang di dalamnya, tebal, sangat tebal bagiku yang jarang memegang uang banyak. Apa lagi jika uangnya hanya sekedar ku pegang, tanpa pernah merasakan asiknya menikmati uang-uang itu. Aku sudah mulai terbiasa.

"Oh, wow. Ku kira kau gagal mendapatkan uangnya dalam seminggu," Aku hanya tersenyum padanya, sedikit memaksa. Dia sangat menyebalkan, selalu sinis dan tidak bisa ku tawar sedikitpun wajah dengkinya itu.

"Kalau begini terus akan lebih baik, kan? Hutangmu lunas dan aku tidak perlu lagi datang ke apartemen sempitmu ini." Ku tarik nafasku dalam-dalam, berusaha agar tidak terpancing emosi karenanya.

Dia kira aku bisa menyewa apartemen yang jauh lebih bagus apabila dia terus saja menagih hutangnya hingga aku sendiri keteteran begini? Dasar wanita tua tidak mengerti kesusahan orang lain.

Jauh di dalam lubuk hatiku, aku selalu ingin segera melunasi hutang-hutang itu walaupun aku tahu itu sangat sulit. Walaupun hutang-hutang itu pun sesungguhnya bukan aku yang membuat, walau aku masih ingin menikmati masa mudaku, tapi berat hati rasanya bila memiliki tanggung jawab dalam bentuk hutang yang besar seperti ini. Jika aku kabur, bukannya masalah selesai, tapi yang ada aku akan mendekam di penjara puluhan tahun lamanya.

Setelah Nyonya Choi pergi dari apartemenku, aku mengambil tas selempang abu-abu milikku dan keluar untuk membeli kebutuhan bulananku yang sudah habis.

Aku sangat senang memakai dress cerah musim panas, itu membuatku terlihat simple dan tidak banyak dandan, tidak seperti diriku di malam hari saat bekerja. Kala bekerja aku di haruskan mengurai rambutku, jadi saat di rumah aku lebih senang mengkuncir kuda rambutku atau menggulungnya saja.

Supermarket terdekat adalah tujuan utamaku, aku hanya berjalan kaki jadi tidak bisa pergi ke tempat lainnya yang lebih jauh. Terlebih juga aku harus istirahat lagi setelah ini agar tidak mengantuk nanti malam.

Setiap berbelanja, sebisa mungkin aku berhemat. Aku akan memilih barang yang sangat ku perlu saja dan menyampingkan barang-barang yang lainnya walaupun sesungguhnya aku sangat ingin membelinya. Yah, setidaknya aku harus melakukan hal ini sampai hutangku lunas, setelah itu aku akan menikmati uang yang ku hasilkan sepuasnya.

"Selamat datang, Nona." Penjaga di depan pintu supermarket menyapaku, tersenyum. Pun aku balas menyapanya dengan senyuman hangat.

Bisa ku cium bau supermarket yang sangat menyegarkan, menarik perhatian. Ku dorong sebuah trolley besar dan mulai berkeliling di gedung ini, sesekali mendesah pelan karena ada banyak sekali barang-barang wanita yang sedang diskon dan tetap saja aku tidak boleh tergiur untuk membelinya.

Aku mulai mengisi trolley-ku dengan perlengkapan mandi, beberapa ramen, susu, beberapa botol air mineral, sayur-sayuran segar, telur, dan lain-lainnya. Itu pun semua sudah masuk dalam perhitunganku yang harus tetap hemat, astaga aku pusing sekali jika begini terus.

"Papa! Ini jelek sekali! Aku ingin yang kuning saja!"

Aku berbelok ke arah kiri setelah keluar dari lorong rak makanan ringan, terkejut melihat anak laki-laki yang melempar truk mainan ke seberangnya, tepat ke arah sosok yang ku yakini Ayahnya berdiri sebab ia baru saja menyebutkan kata 'Papa'.

"Kau itu laki-laki, warna merah lebih bagus. Kau harus gagah seperti Papa."
Mataku membulat melihat siapa sosok dengan kemeja putih dan celana kain hitam yang lengan kemejanya di gulung sampai siku, rambut cukup panjangnya, dan lengan kekarnya. Aku merasa tertampar, dia sosok yang aku kenal.

[3] BERXIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang