09. Ballroom

32.6K 2.4K 495
                                    

Aku terlonjak kaget, mataku terbuka lebar dan deru nafasku tidak beraturan. Aku menatap pintu apartemenku yang masih tertutup rapat diiringi bunyi bel didepan sana.

Sialan, aku bermimpi kotor.

Buru-buru aku berlari menuju pintu dan membukanya tanpa berpikir panjang. Dikejutkan dengan kehadiran Tuan Jeon yang baru saja hadir dalam mimpiku yang menyebalkan dan menjijikkan. Aku tidak bersuara awalnya sampai akhirnya dia angkat bicara.

“Anakku bersamamu, kan?”

Aku mengangguk pelan, masih takut bahwa mimpiku akan menjadi nyata nantinya. Jangan sampai, jangan.

“Da-dari mana kau tahu nomor apartemenku?” Ku beranikan diriku untuk bertanya sebelum mengizinkannya masuk.

“Aku menghubungimu saat tiba dibawah, tapi kau tidak mengangkat. Jadi aku meminta alamatmu pada Min Yoongi. Jadi, apa bisa kubawa anakku pulang sekarang?” Tuturnya panjang dan aku hanya mengangguk ragu.

Seungjae tertidur disofa tepat disebelahku tadi setelah ia selesai makan, aku bahkan tidak sadar bahwa aku juga terlalu mengantuk dan tertidur begitu saja. Melupakan fakta bahwa Tuan Jeon akan datang menjemput anaknya ini.

“Terimakasih sudah menjaganya, Yerim.” Lagi aku mengangguk.

Lelaki itu menggendong anaknya yang masih terlelap, mengistirahatkan kepala Seungjae pada bahu lebarnya. Sesekali mengusap kepala sang anak yang membuatku sedikit luluh akan pemandangan itu.

“Tuan tidak seharusnya meninggalkan Seungjae direstoran sendirian, itu bahaya.” Aku mengutarakan keresahanku, tidak setuju dengan caranya meninggalkan anaknya direstoran dan pergi selamaa berjam-jam.

Tuan Jeon menatapku sejenak sebelum akhirnya menyeringai. Tangannya terangkat menyentuh pipiku, aku mundur sedikit, menjauhinya. Ini terasa seperti saat dia menyewaku sebelumnya, sentuhannya terasa jelas dipipiku, aku bisa luluh lagi jika ia meneruskannya.

Aku pun sadar ini diluar jam kerjaku. Dia tidak boleh menyentuhku kecuali saat memesanku. Sialan. Aku benar-benar terdengar seperti wanita bayaran yang siap menerima tangan pria manapun untuk menjamah tubuhku.

Maksudku pula, tidak semua pria. Dari semua pelangganku yang lancang menyentuhku, hanya dia, hanya Tuan Jeon yang masih bisa melakukannya berkali-kali, melebihi batas yang sudah ku tentukan sendiri. Menyentuhku melebihi batas wajar, semua yang telah kami lakukan itu melebihi yang seharusnya.

“Aku menitipkannya direstoran milik temanku, dia dijaga disana. Tapi anakku sangat pintar kabur, jadi... begitulah.” Oh ayolah, tetap saja itu tidak baik. Kalau mau menitip anak, titip saja pada yang tepat. Bukannya direstoran seperti tadi, mana ada anak kecil yang senang dengan tempat semacam itu selain untuk makan?

“Omong-omong, kau hebat juga tahu bahwa Seungjae ini anakku.” Timpalnya dan membuatku menelan salivaku, aku diam sejenak memikirkan jawaban yang pas. Tapi nyatanya aku tetap akan menjawab dengan jujur.

“I-itu, aku pernah melihat kalian di supermarket, dan Seungjae memanggilmu ‘Papa’, jadi ku asumsikan dia anakmu.” Tuturku sambil menatap punggung Seungjae yang kecil berbalut jaket tebal mahalnya. Anak ini sangat manis, buntalan penuh cinta yang sangat menggemaskan.

Ia mengangguk paham dan tersenyum kecil kala kembali mengusap rambut putranya itu.

“Jeon Seungjae, anak pertamaku. Ku rasa dia senang denganmu.” Tangannya menarik tubuhku, membawaku menempel padanya sampai-sampai wajahku menghantam dada kanannya selagi Seungjae berada di sisi kiri dadanya.

Tangannya mengusap rambutku selagi aku masih membatu, beberapa kali ucapan terimakasih ia lontarkan padaku.

Malam itu berakhir dengan tenang setelah Tuan Jeon pergi dari apartemenku membawa serta anaknya. Berbanding terbalik dengan mimpiku yang bisa kusebut mimpi buruk. Betapa malunya aku bermimpi semacam itu tentangku dan Tuan Jeon. Yah walaupun kami memang sudah pernah melakukan hal yang tidak pantas sebelumnya, tapi percayalah, aku akan berusaha menghindari hal itu terjadi lagi.

[3] BERXIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang