Twenty Three

1K 96 37
                                    

Wendy membantu Irene berbaring diatas kasur agar gadis itu bisa beristirahat.
"Kamu harus tidur, ini udah malem. Besok kamu libur aja." Wendy tersenyum kecil untuk menenangkan sekeretarisnya.

Irene diam menurut, dia meraih tangan bosnya yang hendak berdiri. Gadis itu menggeleng, entah kenapa perasaan takut itu kembali--seolah-olah orang-orang itu akan datang lagi dan menyakitinya.

"Bisa bapak nemenin saya?" Irene memberanikan diri bertanya--menggigit kecil bibirnya gelisah.

Wendy menimang. Haruskah dia menemani Irene? Ini merupakan kunjungan keduanya di rumah si gadis Bae. Dia tentu saja merasa canggung tapi juga tidak tega. Melihat mata gadis itu yang menjerit meminta perlindungan, Wendy tidak bisa mengecewakannya kan?

"Baiklah." Wendy ikut tidur disamping Irene. Mereka berbaring berhadapan dalam diam.

Gadis itu sudah menutup mata sambil menyimpan kedua tangannya di dada. Tubuhnya yang kecil meringkuk kedinginan.

Wendy meraih selimut dibawah kakinya lalu menyampirkan kain tebal itu diatas tubuh Irene, membuat gadis itu membuka matanya tiba-tiba.

Wendy tersenyum kecil,
"Tidur, saya temenin. Kamu aman sekarang."

Irene kembali menutup matanya dengan lebih rileks. Wendy benar, dia merasa aman sekarang--dengan adanya kehadiran lelaki itu. Tangannya sudah tidak dingin lagi, jantungnya juga telah mulai berdetak teratur.

Meski begitu, tetap saja Irene tidak bisa tidur. Terkadang bayangan tangan-tangan yang menyentuh tubuhnya akan terlintas begitu saja--mengakibatkan dia tanpa sadar mengambil nafas tajam.

Wendy mungkin bisa merasakan kegelisahannya, karena lelaki itu kemudian memeluk Irene lembut. Seolah memberi perlindungan dan dukungan untuk Irene melewati semua ini.

"Kamu gak bisa tidur?"

"Bapak kenapa bisa ada disana tadi?" Irene mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka obrolan baru.

"Saya abis makan malam sama keluarga."

"Emmh.."

"Mereka mau menjodohkan saya."

Irene membuka matanya kaget, dia memandang Wendy yang tidak bereaksi sama sekali. Seolah kabar ini tidak berpengaruh apa-apa padanya.

"...."

"Saya tentu saja gak mau, saya keluar dari sana dan lupa kunci mobil masih didalam. Entah kebetulan atau bagaimana saya ngeliat kamu sama cowok. Saya gak ngikutin kamu loh ya, jalan pulang ke rumah saya emang kebetulan searah sama rumah kamu." Wendy memandang tembok dibelakang kepala Irene--pura-pura tidak melihat senyum menggoda gadis itu, seolah Irene menyadari kebohongannya dengan hanya sekali dengar.

"Iya deehh.."

"Kamu tau apa yang saya pikirkan saat ayah dan istrinya mengatakan akan menjodohkan saya dengan Jihyo?" Dia mencoba mengalihkan pembicaraan karena sudah tidak tahan dengan senyum kelewat lebar milik gadis yang berada dipelukannya.

Sementara Irene hanya diam saja. Tidak tahu harus menjawab apa, dia diam-diam sibuk menenangkan diri sebelum mendengar penjelasan Wendy lebih jauh.

"Kamu."

Darah Irene berdesir. Wendy sedang tersenyum begitu tulus dan matanya berpendar penuh cinta. Bolehkah Irene merasa tersanjung?

"Entah kenapa malah kamu yang saya pikirin, bukan wanita-wanita saya yg lain. Saya mengerti kenapa kamu menolak saya, karena memang saya orang yg brengsek. Untuk itu saya benar-benar minta maaf."

"Bapak gak salah.." Bisik Irene pelan, mengalihkan pandangannya dari Wendy.

"Tapi Irene, saya serius saat saya bilang saya sayang sama kamu. Kamu boleh melihat keseriusan saya beberapa hari ke depan. Saya akan berhenti bermain-main.

Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang