Perjodohan

483 37 0
                                    

Teman tapi mesra, mungkin itu cocok untuk Narni dan sahabatnya. Padahal justru sahabatnya lah yang benar punyai perasaan yang istimewa untuk  Narni. Sewaktu SMP mereka berdua sangat dekat dan hampir saja terjebak sebuah hubungan percintaan, meski cinta monyet.

"Eh, ngapain kamu Nang? Kok bengong gitu, lihat bunga liar itu?

" Ehm... Ntar, kamu ini, gak paham ya sama bunga liar ini? ini tuh, bunga dandelion yang bisa tumbuh di mana-mana dan gak butuh tempat yang spesial."

" Lah... keluar lagi teorinya."

Mata Narni yang hanya melirik ke arah Danang dan berdiri di belakang tubuh sahabatnya yang tengah jongkok. Tangannya yang masih memegangi sepeda mini ungunya. Lalu tak lama dia menghela napas panjang dengan sedikit kesal. Bibirnya yang sedari tadi dimonyongin karena sahabatnya masih saja tak merubah posisi duduknya itu.

"Nang, aku mau tanya sama kamu, kalau seandainya aku menikah muda bagaimana pendapatmu?"

Tangan Danang yang sedari tadi asyik menyentuh bunga-bunga yang bertebaran di tanah mendadak terhenti. Danang membalikkan tubuhnya ke arah sahabatnya yang polos itu.

" Nar, kenapa kamu ngomong seperti itu? "

"Nang, aku cuma ingin tahu apa pendapatmu tentang itu?"

"Aku hanya tahu kalau menikah muda itu, terkadang tak bagus akhirnya."

Mata Narni menatap arah depan jalan dan dengan pandangan yang entah kemana dia tujukan.

"Kalau aku Nar, mau menikah muda atau cukup usia, menurutku sama saja."

"Apa maksudmu Nang?

" Maksudku kalau nikah muda tapi bisa mengatasi masalah rumah tangga yang ada, itu gak jadi soal asal sama mengerti, begitupun sebaliknya."

"Oh jadi menurutmu itu semua intinya masalah waktu, begitukah?"

"Kupikir begitu."

"Ya Allah gusti... kok begini ya, aku belum bisa menerima kenyataan yang ada di depanmu."

"Apa maksudmu Nar? Coba kamu jelaskan padaku kalau kamu punya masalah, cerita dong jangan kamu pendam sendiri."

"Ah sudahlah, nanti aku ceritakan."

Tanpa memperdulikan desakan tanya Danang, ia pun segera pergi dengan mengayuh sepeda sekencang-kencangnya.

"Wee lah, kok malah pergi tinggalin aku sih."

"Tunggu Narni, jangan cepat-cepat kamu pergi, tunggu aku!"

Teriakan sahabatnya tak ia hiraukan, ia terus mengayuh sepedanya kencang.

Kedua sahabat itu sudah lama tak bertemu selama dua tahun yang lalu. Setelah lulus SMP, orang tua  Narni menginginkan anaknya segera menikah dengan menjodohkannya.

Perjodohan yang akan dilakukan setelah perhitungan waktu kalender Jawa sudah mendapat hasil persetujuan antara kedua belah pihak keluarga.

Tempat tidur Narni berderit saat tubuh rampingnya dibolak-balikkan berganti posisi tidurnya. Ia tak peduli dengan dandanan dan pakaiannya yang sudah rapi. Tetes air matanya jatuh di pipinya yang terpoles bedak.

Rasa gelisah tak menentu saat berada dalam kamarnya, ia sambil mendengarkan dengan seksama acara penentuan tanggal pernikahan.

"Tok... tok... tok."

"Nar, ayo kamu keluar, sudah selesai kamu kan?"

"Ya Bu, tunggu sebentar."

"Ayo cepat, semua sudah menunggumu."

Pintu kamar lalu terbuka dan ia keluar dengan wajah sedikit tertunduk menahan tangis. Namun ibunya tak pedulikan akan sikap Narni yang tengah sedih.

Keluarganya memang sangat berharap Narni dijodohkan dengan anak orang kaya. Karena berharap Narni dan calon suaminya kelak bisa menjadi keluarga yang membawa derajat serta martabat, khususnya untuk keluarga dari pihak Narni.

Acara pun dilaksanakan secara sederhana. Karena sebenarnya keluarga calon mantunya lah yang meminta acara lamaran dibuat terkesan biasa saja. Karena hal itu sebenarnya permintaan dari sang ibunda Sasongko, yaitu calon mertuanya Narni.

Akankah perasaan seorang Narni mampu ia tahan dengan segala bentuk satu paket berisi ketidakberdayaan. Hanya karena tak mampu lagi menolak keinginan orang tua dengan dalih pada sebuah kata berbakti.

***

Maid In MerlionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang