Hari berganti bulan, namun hati Narni tetap tak mampu menyimpan rasa untuk sekadar memberi setitik celah pada hati yang lain. Hampa menelisik hatinya, ingin berontak sudah tak mampu. Kondisi seakan menjerat dirinya untuk tak mencoba menyingkirkan apa yang ada.
Situasi hati yang tak menentu, membuatnya mudah sensitif. Mudah menangis, marah juga terkadang kesan acuh. Keluarganya tentu tak begitu memahami akan situasi dalam diri Narni. Mereka hanya melihat penampakan Narni yang dianggap kelelahan karena persiapan pernikahannya.
"Nar, itu suvenirnya, Ibu taruh dalam laci kamarmu, nanti kalau sudah selesai kamu beres-beres kamar, ambillah suvenir itu lalu susun di keranjang yang udah Ibu siapin."
Ibunya segera berlalu dari pintu kamar Narni setelah ia menjelaskan di mana suvenir itu. Adik Narni, Jalu namanya menghampiri kamar Narni.
"Mbak, sudah makan? Kalau belum, makanlah dulu jangan sampai kamu abaikan perutmu itu."
Sembari tersenyum ia mendekati kakak kandungnya itu. Dan ia duduk di tempat tidur Narni sambil memegang suvenir-suvenir yang tengah Narni susun rapi dalam keranjang.
"Mbak, dari kemarin kulihat kamu enggak pernah senyum? Capek ya? Udahlah Mbak, dibuat senang dan santai..."
"Ja, Mbakmu ini mungkin memang capek tapi yang lebih capek itu pikiranku."
Narni menjawab dengan senyum tipis, ia hanya mencoba menutupi kegundahannya pada anggota keluarga, salah satu adiknya. Ia pun duduk yang jaraknya tak jauh dari adiknya. Kepalanya sedikit tertunduk, helaan napas panjang keluar dari hidungnya.
"Sudahlah, Aku gak apa, Aku baik-baik saja, gak usah khawatir dengan keadaanku."
"Baiklah Mbak kalau begitu tapi makan ya nanti, jangan sampai enggak?"
"Iya Jalu, adikku sayang..."
Seulas senyum Narni, sedikit membuat hati Jalu adiknya merasa tenang. Dan ia pergi meninggalkan Narni yang masih duduk di kamar.
"Ya Allah gusti, berilah hamba kekuatan untuk menjalani ini semua, kalau memang Sasongko adalah jodohku, aku ingin hati ini bisa menerimanya tulus dan ikhlas."
Matanya yang mulai digenangi air mata, ia sapu dengan punggung tangannya. Rasa perih harus mampu ia tutup dengan kekuatan diri.
Tiba saat waktu dimana hari yang dinanti oleh sebagian besar keluarga Narni. Hari pengucapan janji seumur hidup dan mungkin sampai mati di depan Sang Maha Kuasa. Semua orang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, tak terkecuali Narni. Ia masih duduk di kasur tidurnya dengan baju adat pengantin Jawa yang ia kenakan. Ia justru duduk termenung seorang diri, memikirkan apakah ia sanggup hidup mendampingi seseorang yang tak ia cintai.
Rombongan keluarga Sasongko pun datang dan disambut penuh suka cita oleh keluarga Narni. Namun keluarga Sasongko yang memang seolah kaya itu meminta agar keluarga Narni harus melayani dengan baik pada semua anggota keluarga Sasongko. Dan keluarga Narni yang memang merasa bangga mendapatkan calon besan berstatus kaya, sangat berusaha memberikan pelayanan yang terbaik agar di mata keluarga Sasongko, keluarga Narni dianggap baik pula.
"Narni, ayo kamu keluar, itu Pak penghulu sudah datang."
"Ya Bu."
Narni beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari kamar dengan digandeng oleh ibunya. Setelah tiba di ruang tamu, semua orang yang berada di situ terkesima melihat rupa cantik Narni. Narni yang sangat berbeda kesehariannya, tak pernah memoles wajahnya sekalipun dengan bedak kali ini begitu nampak cantik dengan dandanannya.
Lalu ia duduk bersebelahan dengan Sasongko yang sedari tadi sangat terpana melihat kecantikan dari calon istrinya itu. Narni gadis berkulit kuning langsat memang nampak berwajah biasa, tapi di mata Sasongko ia adalah gadis yang sungguh cantik. Mengapa itulah Sasongko langsung menyetujui perjodohannya dengan Narni.
Senyum lebar Sasongko justru membuat hati Narni kecut. Ia tak mengira akan dinikahin oleh pemuda yang belum sama sekali ia kenal dengan baik.
"Duh gusti... kuatkan hamba-Mu ini."
Hati Narni berdoa dengan segala kepasrahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maid In Merlion
ChickLitNarni adalah gadis desa yang mencoba mengadu nasib seperti teman-temannya yang sudah dulu berada di luar negeri. Konflik rumah tangganya yang tak kunjung mendapat solusi justru semakin membuatnya bingung. Dengan terpaksa ia tinggalkan anak dan suami...