Badai Kerikil Dua

219 20 2
                                    

Pecah! Piring yang ada di dapur? Siapa yang pecahin?! Astaghfirullah... itu kucing rupanya, melompat ke atas meja dapur. Jantung Narni serasa melorot saja mendengar suara berisik itu.

"Hush hush! Pergi sana!" teriak Narni seraya memegang sapu usir kucing yang sudah bikin berantakan dapurnya.

"Kurang asam ini kucing, berantakan semua," gerutunya.

Ia membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai dan menyapu bersih. Makanan yang sudah tersentuh kucing, ia buang. Lalu pintu belakang yang sempat lupa ditutupnya segera ia tutup. Cuaca kali ini memasuki musim hujan. Narni bersyukur tanaman bunganya tidak akan kering karena kurang air.

Ia mencoba membuat bibit dari setiap tanaman bunganya itu satu per satu. Kalau ada tetangga atau siapapun yang inginkan bibit itu, ia jual. Karena memang Narni ingin mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman bunganya itu. Sedikit demi sedikit sebagian ia tabung dan untuk uang jajan anaknya.

Sore itu, suaminya membantu menyapu halaman rumah. Jadwal kerja Sasongko di perusahaannya memang ada tiga shift. Ia yang sebagai leader pun mendapat jatah jadwal itu. Tangannya mengambil beberapa barang pohon kayu yang kecil dan kering itu untuk dikumpulkan lalu dibakar.

Namun saat ia membakar sampah dari pohon itu, tetiba Narni datang menghampirinya.

"Mas, jangan bakar sampah dulu, itu Arfa masih tidur di kamar, nanti asapnya masuk kamar, kamu kan tahu kalau anakmu sensitif alergi pernapasannya."

Jelas Narni pada suaminya yang masih terus membakar sampah itu. Tapi suaminya justru malah tersenyum dan tak menghiraukan Narni.

" Mas, kok malah senyum? Gak sayang sama anak ya? Kamu itu kalau di kasih tahu kadang suka anggap enteng!" gusar Narni, wajahnya yang kuning langsat itu mendadak merah.

Ia marah pada suaminya itu yang tak mau mendengarkan apa yang ia katakan.

"Nar, asap itu gak akan masuk banyak, toh ini sampah gak banyak kok, kamu ini kadang berlebihan, lah wong cuma api kecil," sanggah Sasongko.

"Sudah, terserah kamu!" cetusnya.

Narni pergi berlalu masuk menuju kamar yang tempat anaknya tidurlaku menutup jendela kamar. Ia khawatir kalau asap itu akan berakibat pada putranya yang masih tertidur pulas.

Dongkol dan kesal itu pasti untuk seorang Narni. Ia berpikir kalau suaminya dapat memahami apapun jika ada hal yang mungkin mengganggu kenyamanan. Apapun masalahnya, sebenarnya akan teratasi  andai mereka bisa saling.

Suatu hari Narni mendapat aduan dari suaminya. Uang belanja yang suaminya kasih terkadang kurang. Karena pada saat bulan tertentu, pengeluaran melebihi pemasukan.

"Nar, kalau kamu belanjakan uang itu pakai perhitungan lah, " cibir suaminya.

"Loh, ya jelas kalau aku pake perhitungan, justru kamu itu Mas, jangan merokok, itu juga suatu pemborosan," ujar Narni yang memang tak pernah suka kalau suaminya perokok.

"Loh? Memang sebelum kita nikah ada perjanjian aku gak boleh merokok? Gak kan?" ujar suaminya.

Narni mengelus dadanya dan helaan napas panjangnya ia embuskan untuk kesekian kalinya. Dadanya serasa sesak dan gemuruh emosi kemarahannya benar telah melandanya. Tapi ia berpikir kalau terus begini, kemungkinan ia akan mudah stress.

Maka, ia harus membicarakan masalahnya agar terselesaikan. Tak mau mengendapkan sesuatu yang ujungnya menjadi bom waktu yang suatu saat siap meledak. Karena bisa jadi akibatnya akan buruk untuk dirinya dan siapapun yang ada di sekelilingnya.

***

Terik matahari tak ia hiraukan ketika tangannya sudah menata rapi setiap pot bunganya. Putranya yang asyik bermain di dekatnya, merengek minta beli jajan.

"Jajan terus! Sehari ini jajan sudah berapa kali? gusarnya.

"Arfa mau jajan lagi...," pintanya menarik-narik baju daster Narni.

"Duh gusti.... Nak, jangan kebanyakan jajan nanti uangnya habis loh," ujarnya sedikit mencoba menakuti dengan kata itu.

Narni terkadang sudah tak tahu harus bagaimana mencegah putranya untuk tak terus menerus membeli jajan. Ia berkeinginan agar mendidik anaknya belajar untuk hidup hemat.

Ia membujuk putranya masuk ke dalam rumah dulu. Setelah itu barulah ia memberikan agar-agar buatannya sendiri. Dan putranya sempat menolak tapi karena usaha kesabaran akhirnya Narni bisa. Mulut si bocah itu ia suapi sedikit demi sedikit.

Waktu memasuki malamnya, sepulang dari tempat kerjanya Sasongko duduk santai menonton televisi di ruang tengah. Narni yang teringin membicarakan tentang masalah apapun, mendekati suaminya itu.

"Mas, mau kubuatkan kopi? tawar Narni yang berharap suaminya yang penyuka kopi mau dibuatkan.

"Gak lah, nanti malah gak bisa tidur."

"Tapi biasanya kamu kan tidur larut Mas? Terus merokok minum kopi, bukannya nikmat banget kan Mas?"

"Ya memang nikmat, tapi hari ini aku lagi pengen tidur awal, kamu ini tumben nawarin ke aku? Ada apa?" tanya Sasongko penasaran.

"Begini Mas, aku cuma mau membicarakan tentang apapun, tentang anak, orang tua, pokoknya apa saja, aku cuma ingin ketemu solusi biar enak begitu." jelas Narni pada suaminya.

"Ya sudah bilang saja, apa yang kamu inginkan."

"Bukan yang aku inginkan tapi kalau bisa kita berdua yang sama enak."

"Kalau begitu, ya sudah, aku dengarkan kamu bicara," lugas Sasongko.

"Maaf Mas, aku sebenarnya gak setuju kalau kamu membakar sampah itu jendela rumah semua ditutup dulu sementara, nanti asapnya gak banyak yang masuk."

"Walah, lah cuma masalah itu? Itu hal sepele kenapa kamu seolah jadi masalah? elak Sasongko.

"Ya jelas Mas, kan kamu tahu kalau Arfa itu alergi dengan udara kotor," ujar Narni.

"Aku tahu, tapi membakar sampahnya kan gak seperti membakar hutan Nar," protesnya.

"Mas, itu tetap saja berbahaya," jelas Narni dengan sedikit menekan kalimatnya.

"Ya sudah! lain waktu aku tutup jendela dulu kalau habis bakar sampah!" gerutu suaminya.

"Aku bukan mau Mengajari Mas, tapi ini demi kesehatan."

"Ya sudahlah, aku mau tidur. Besok aku berangkat pagi, temanku minta tukar jadwal," katanya seraya menuju kamar.

Hati Narni lumayan agak lega setelah pembicaraan dengan suaminya itu, tapi ia masih belum puas karena ingin membicarakan tentang masalah keuangan dalam rumah tangganya.

Setelah mematikan televisi, ia pun mengikuti suaminya masuk ke dalam kamar. Suaminya yang sudah berbaring, Narni pun turut berbaring di atas tempat tidur bersebelahan dengan suaminya.

"Mas, aku masih ingin bicara nih," bujuk rayu Narni mengharap suaminya masih bisa diajak bicara.

"Ehm, ada apa lagi?" tanya suaminya yang membelakangi posisi tidur Narni.

"Begini Mas, uangku tinggal sedikit, besok kan aku ingin syukuran ulang tahun Arfa, walau kecil-kecilan yang tapi biar keluarga saja dan bagi sedikit dengan teman bermainnya sekitar sini kok," jelas Narni tentang keinginannya.

"Loh? Kalau urusan itu ya kamu sepenuhnya yang bisa, kalau aku kan sudah kasih uang belanja tiap bulan, ya terserah kamu mau diapakan. itu uang? Yang penting aku sudah rutin kasih kan? sanggah suaminya.

"Tapi Mas, ini kan aku mau doa bersyukur kalau Arfa bisa benar sembuh dari sakitnya," jelasnya sekali lagi.

"Ya kalau begitu, aku pokoknya gak mau tahu menahu soal mengatur uang, itu sudah urusanmu titik," ujar Sasongko terus menarik selimut dan berusaha memejamkan mata.

"Kamu ini kok begitu sih Mas? Diajak bicara kok malah tidur," gerutu Narni yang juga berusaha memejam mata.

Narni harus sabar, tarik ulurnya mengatasi permasalahan sekecil apapun, ia harus pandai menyikapinya. Ujungnya ia berdoa dalam hati, semoga selalu diberi kemudahan.

Maid In MerlionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang