Siraman rohani begitu sangat pentingnya untuk seorang Narni. Meski suaminya Sasongko mendukung penuh jika ia ikut pengajian tapi justru ia tak pernah mau melakukan ibadah wajib.
"Iqro! Bacalah, ayo sekali lagi harus baca!" teriakan dalam hatinya membuat bulu halus tubuhnya bergidik.
"Aku harus baca nih? Lah kok bisa seperti ini? Apa sebenarnya yang merasukiku?! hatinya sulit untuk mencerna akan keadaan yang ada.
"Narni kok kamu gak berangkat ngaji?" tanya Ibunya dari arah dapur.
"Nanti lah Bu, aku lagi nunggu Mas Sasongko sama Arfa pulang," ujarnya.
"Memangnya dia pergi kemana sama Arfa?"
"Beli bakso, Arfa pengin makan itu," jawabnya pada Ibu.
"Lah wong sudah jam segini kok belum pulang," tukas Ibunya.
"Aku nunggu dulu kalau belum pulang, ya terpaksa aku pergi dulu."
"Terus kamu ngaji ya kan?" tanya Ibu bingung.
"Ya pasti ngaji, dan itu sudah niatku dari kemarin pas dapat undangan dari temanku," jelas Narni.
"Eh tapi anakmu nanti kalau gak ikut, pasti rewel juga nangisnya bisa lama!" sergah Ibu.
"Nah itu, ini kok ya mereka belum pulang? Kan harusnya sudah tahu waktu pengajiannya dimulai kapan, begitu," gerutu Narni seraya berjalan keluar pintu rumah untuk menunggu suami dan anaknya.
Selang sepuluh menit mereka pun pulang. Wajah Narni sudah pasang cemberut. Ia bergegas menghampiri suaminya.
"Gimana sih? Ini aku sudah telat ngaji ya."
"Ya belum lah... tenang saja, gak usah pake marah begitu," ucap Sasongko yang mengernyitkan dahi.
Segera Narni mengambil kunci motor dari tangan suaminya tanpa mengatakan apapun. Sasongko melihat kejadian itu hanya bisa terdiam dan menghela napas tanpa berkomentar.
Narni langsung membawa pergi anaknya dengan mengendarai motor, setelah ia berpamitan dengan suaminya.
"Aku pergi dulu Mas, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," suaminya pun menjawab salamnya.
Laju motor Narni cukup kencang karena ia tak mau melewatkan waktu yang mungkin satu jam yang lalu dimulai acara pengajian itu. Dan tetiba di pengajian tersebut, seorang lelaki menghampiri Narni yang tengah memarkir sepeda motor.
"Mbak, maaf itu sebelah kanan masjid tempat akhwan bisa duduk karena area di luar ruang inti sudah penuh," ujarnya seraya menunjukkan tempat yang dimaksud.
"Oh ya Mas, terima kasih," ucap Narni pada orang itu.
Lalu Narni dan putranya itu masuk ke area yang sudah ditunjuk oleh panitia acara tersebut. Tangannya ia ulurkan untuk bersalaman dengan beberapa jamaah lainnya itu. Senyumnya yang ia ulaskan seakan menutupi rasa kejengkelannya pada Sasongko.
Kejadian di mana ia menunggu lumayan cukup lama. Bersyukur ketika saat di acara itu, ia masih bisa setengah serap ilmu pengajian yang diisi oleh seorang ustaz di desanya.
Mungkin untuk seorang Narni yang sudah menginjak umur 22 tahun, sudah cukup bisa belajar hal kehidupan dunia. Masalah demi masalah yang timbul di dalam hidupnya, benar mengharapkan ia mampu temukan solusinya.
Bukan kemudahan yang sering ia temukan jika hadapi suatu masalah. Justru terkadang rumitnya sumber dari masalahnya itu. Betapa ia yang telah berusaha untuk kebaikan rumah tangganya. Dan bentuk asumsi akan perempuan salihah, ia pun memahami akan semua itu.
"Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah."
Hadist riwayat Muslim inilah yang menjadi pegangan kuat seorang Narni yang begitu antusias mendalami ilmu agamanya. Ia berusaha mempelajarinya dengan belajar mengaji.
Jika ada acara pengajian di mana-mana pasti ia selalu mengikutinya. Di tengah kesibukannya mengurus rumah tangga, ia sempatkan untuk ikut. Sasongko suaminya sebenarnya mendukung tapi terkadang ia pun kurang memahami akan kerepotan istrinya itu. Watak Sasongko yang egois membuat Narni kadang merasa sedih, bingung dan juga marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maid In Merlion
Chick-LitNarni adalah gadis desa yang mencoba mengadu nasib seperti teman-temannya yang sudah dulu berada di luar negeri. Konflik rumah tangganya yang tak kunjung mendapat solusi justru semakin membuatnya bingung. Dengan terpaksa ia tinggalkan anak dan suami...