Narni mulai stress setelah melihat anaknya merusak mainan milik tetangganya.
"Arfa, sini kamu!" hardik Narni pada putranya yang berusaha lari menjauh darinya.
"Arfaaa," geram Narni sembari berlari mengejar anaknya yang berlarian kesana kemari. Anak itu tampak sengaja tak mau mendengarkan teriakannya.
Dan akhirnya tangan Narni meraih lengan putranya yang memang sangat aktif aktifitasnya. Dipegangnya erat kuat genggaman jemarinya yang ia kaitkan pada Arfa putranya.
"Kamu ini, lain kali gak usah main sama teman-temanmu, pake rebutan, terus merusak mainannya," gusarnya seraya membawa masuk putranya yang sudah berumur tiga tahun itu.
"Maaaak, Arfa gak kepengen nakal, Arfa pengen beli mainan kaya gitu."
Tangis rengek putranya tak ia hiraukan, tangannya terus membuka baju putranya yang beraroma khas matahari itu. Tubuh kecilnya dibawa masuk ke dalam kamar mandi lalu Narni memandikannya. Selesai memandikan lalu mengenakan baju dan dibuatkan susu.
" Nih, minum susunya, ntar kalau sudah habis terus tidur siang."
"Ya Mak... tapi Arfa nanti dibeliin mainannya loh."
"Ya nanti tunggu kalau Bapakmu ada rezeki."
Seteguk demi seteguk anaknya habiskan susu yang Narni buat. Segera anaknya bergegas menuju kamar dan tak lama tertidur pulas. Mata Narni memandang tubuh si kecil yang nampak kelelahan setelah bermain.
"Ehm... duh gusti, semoga aku masih tetap bisa menjagamu dengan baik Arfaku sayang."
Matanya yang sedikit tergenang air mata sampai juga menetes pelan pada pipinya. Titik- titik air mata itu adalah bentuk dari rasa seorang ibu yang berusaha tegar hadapi kenyataan hidup.
Tubuh putranya sejenak menggeliat, keringat dengan cepat keluar dari setiap pori-pori kulit putranya itu. Rupanya cuaca yang sangat panas membuat putranya jadi berkeringat. Narni memang tak membiasakan memakai kipas angin, ia tahu kalau putranya tak begitu tahan dengan angin yang agak kencang karena tubuhnya mudah terkena masuk angin.
Dibukanya jendela kamar agar udara yang masuk bisa sedikit mengurangi hawa panas di dalam kamarnya. Ia lalu pergi meninggalkan kamar menuju ruang dapur kemudian melanjutkan masak.
***
Sore harinya, Sasongko yang asyik membaca koran yang ia beli tadi siang di kantornya mendadak diambil oleh putranya dengan merebut. Dan Sasongko sangat marah dengan sikap putranya yang sangat usil itu.
"Arfa, sini kembalikan ke Bapak, sekarang!" perintah dengan suara sedikit keras membuat putranya semakin tak mau mendengarkan dan menuruti.Ia malah menolaknya dengan berteriak.
"Gak mau!"
"Eh jangan nakal, nanti Bapak gak mau belikan mainan lagi, ayo sini kasih ke Bapak."
Sasongko berusaha pelankan suaranya dan merayu putranya yang masih memeluk erat korannya itu. Arfa malah berlari keluar rumah dengan masih menenteng koran yang sudah teremas-remas oleh tangannya.
"Ini anak, heh! Cepat sini, kembalikan gak korannya? Mau Bapak pukul ya?!
Bentakan Sasongko tak ia pedulikan tapi koran itu dibuanglah ke tempat sampah yang berada di halaman rumah. Melihat kejadian itu, Sasongko tanpa sadar berlari mendekati putranya lalu tangannya mengambil batang kayu kecil dan memukulkannya pada pantat putranya itu.
Pecahlah tangisan putranya dan ia meraung-raung meminta tolong sembari memanggil-manggil Emaknya, Narni.
"Maaaak, huuu..huuu Bapak nakal, Bapak nakal," rengekan sekaligus tangisan kesakitan dari bibir putranya, buat Narni yang sedari tadi berada di halaman belakang terus bergegas menuju ke depan.
"Ada apa ini, ribut-ribut?! tanya Narni, pandangannya tertuju pada suami dan anaknya.
"Ini anak, gak mau dengerin aku ngomong, koranku direbut terus dibuang."
Jelas suaminya yang masih memegang erat lengan Arfa yang masih menangis. Narni lalu mendekatinya dan bertanya pada putranya.
"Benar kamu ambil koran punya Bapak?"
"Ya Mak, tapi kan aku pengen lihat doang."
"Ya Mak tahu, tapi lain kali jangan rebut begitu, Arfa minta saja ke Bapak kalau mau lihat korannya."
"Ya Mak, maafin Arfa ya?"
"Ya tapi minta maaf juga ke Bapak dong."
"Bapak, Arfa minta maaf kalau udah rebutin korannya."
"Ya tapi lain kali awas kalau rebut lagi nanti gak Bapak kasih jajan." sungut suaminya yang berlalu begitu saja.
Rupanya kemarahan suaminya belum reda, Narni yang melihat hal itu hanya terdiam. Ia mengajak putranya itu masuk ke ruang tengah dan menonton televisi.
Narni kemudian meninggalkan Arfa yang fokus menonton, ia menuju teras di mana suaminya sedang duduk dan menyeruput kopi.
"Mas, tolong kalau anakmu meminta maaf sebaiknya kamu memberikan maaf dengan santun, bukan dengan sekadar."
"Heh Nar, kamu tahu apa cara mendidik anak? Dia itu kalau minta maaf lalu besoknya lakukan kesalahan sama," gusar suaminya.
"Namanya juga anak kecil, masa sih kamu gak mau memahami, dan juga kalau bisa gak usah pake mukul."
Protes Narni pada suaminya tapi justru Sasongko semakin marah. Dan ia menggebrak meja dengan tangannya hingga kopinya tumpah.
"Brakk!
"Nar, urus anakmu dengan baik, aku gak mau dia punya kelakuan seperti itu, kurang ajar itu anak, masih kecil sudah berani ke orang tua."
"Mas, tapi dia masih anak umur tiga tahun, belum bisa memahami mana yang baik atau salah, kamu ini kenapa sih?! ujarnya kesal.
"Ah sudahlah."
Sasongko pun pergi berlalu masuk ke dalam rumahnya. Narni hanya menghela napas panjang dan membersihkan meja yang terkena tumpahan air kopi.
Pertengkaran kecil sering dilakukan oleh pasangan itu. Kadang masalah sepele bisa menjadi besar. Dan Narni yang akhirnya tahu akan perangai suaminya yang sangat keras kepala, membuatnya kadang dongkol. Tapi iapun berusaha tetap bersabar dan memaklumi. Walau keegoan sempat menjadi masalah yang rancu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maid In Merlion
ChickLitNarni adalah gadis desa yang mencoba mengadu nasib seperti teman-temannya yang sudah dulu berada di luar negeri. Konflik rumah tangganya yang tak kunjung mendapat solusi justru semakin membuatnya bingung. Dengan terpaksa ia tinggalkan anak dan suami...